Rabu, 21 Mei 2025

Tidak Mengganggu

Satu hari, di dalam sebuah kendaraan umum, saya menyaksikan seseorang berpindah-pindah tempat duduk. Sementara kendaraan belum berjalan dan kursi penumpang semuanya bernomor. Saya agak bingung dan mencoba ngobrol dengan penumpang lain yang duduk di samping saya. "Orang itu kenapa ya pak pindah-pindah tempat duduk?" Dengan ringan dan setengah cuek orang itu menjawab, "Biarkan saja pak yang penting tidak mengganggu kita". Jawaban itu seolah menyadarkan saya untuk berkata, "Iya, ya", ngapain kita perlu repot pada tingkah seseorang yang tidak sedang mengusik kita. Karena kesadaran sesaat itu saya yang tadinya ingin tahu niat sesungguhnya dari penumpang berpindah-pindah tempat duduk itu menjadi diam dan setengah mengobservasi penumpang di samping saya. Secara sekilas saya kagum atas jawaban seenteng dan setenang itu. "Baiklah", demikian ujar saya dalam hati dan mengambil sikap ikut-ikutan tenang. 

Namun, pikiran tenang saya ternyata hanya sementara. Tak lama kemudian berkelebat pikiran lain sebagai reaksi atas tindakan penumpang berpindah-pindah tempat itu. Meski kecamuk pikiran terjadi, tubuh dan sikap saya tetap berusaha tenang. Di kepala saya terpikirkan tentang kursi bernomor di mana setiap penumpang pasti sudah memiliki tiket sesuai dengan nomor kursi. Apakah penumpang yang berpindah-pindah tadi bingung mencari nomor kursinya atau dia mencoba mencari kursi mana pun yang bagi dia nyaman sehingga tentu saja tidak sesuai dengan nomor kursi yang telah ia miliki? Semua pertanyaan ini saya coba jawab sendiri dalam pikiran termasuk akibat yang mungkin akan ditimbulkan dari jawaban tersebut. Namun demikian, saya tetap tenang dan bahkan mencoba memejamkan mata agar tidak melihat akibat apa yang bakal timbul setelah semua penumpang ada dan menduduki kursinya masing-masing sesuai nomor.

Ketika mata terpejam justru pikiran saya mengarah pada reaksi penumpang yang duduk di samping saya. Bukan lagi soal ketenangannya dalam bersikap, melainkan ekor kalimat jawabannya, "... yang penting tidak mengganggu kita". Hal ini membuat saya berpikir, "Jadi, kalau ada orang berpotensi mengganggu orang lain, kita boleh bersikap tak acuh karena tidak mengganggu kita?" "Jika semua orang bersikap tenang namun dengan semangat seperti ini lalu bagaimana jika ada potensi kriminal dalam sebuah peristiwa di publik?" "Apakah kita juga tetep cuek karena potensi itu tidak bakal terjadi pada kita?" "Lalu bagaimana jika potensi itu benar-benar terjadi?" "Apakah kita juga cuek karena kita bukan korbannya?" Banyak pertanyaan dalam pikiran yang mungkin terdengar aneh dan berlebihan melintasi kepala saya. Semua itu nampak terlalu halu. Namun apa yang halu di pertanyaan pikiran saya itu seringkali menjadi nyata ketika ada kecelakaan kecil, misalnya orang terjatuh dari motornya di pinggir jalan dan tak seorang pun mencoba menolong, bahkan menoleh pun tidak. Kalau sudah begini, maka apakah ekor kalimat ".... yang penting tidak mengganggu kita", masih bisa berlaku? (**)

Sedayu, 210525

Jumat, 16 Mei 2025

Maaf Berkelas

Sejak kecil umumnya dari kita diajar untuk bertindak jujur. Jika melakukan kesalahan kita diharuskan untuk meminta maaf, karena akibat dari kesalahan itu kita bisa merugikan orang lain. Artinya, minta maaf adalah sebuah kewajiban. Namun dewasa ini, banyak kita temui baik nyata atau dalam berita bahwa tidak sedikit orang yang bersalah tidak mau minta maaf, bahkan menyalahkan orang lain atas kesalahannya. Di jalanan macet sering kita temui, seseorang tidak sengaja menabrak kendaraan orang lain. Entah karena gugup sebab macet, entah karena hilang kendali sesaat. Anehnya, si penabrak ini dengan lantang menyalahkan orang yang ditabrak dengan berbagai alasan. Ini dilakukannya agar orang yang tertabrak tadi tidak menyalahkannya. Ketika si tertabrak merasa tidak terima disalahkan karena memang ia tidak salah, maka pertengkaran pun akan terjadi. Mula-mula verbal, lalu saling berbesar volume suara, kemudian jika tak terkendali fisik mulai terlibat. Semua ini terjadi karena ketidakjujuran melakukan kesalahan dan meminta maaf atas hal tersebut. Padahal jika itu dilakukan pasti semuanya akan beres dalam sekejap.

Peristiwa semacam di atas, sudah seringkali terjadi dan si salah tak mau minta maaf. Lalu, apakah orang-orang ini tidak diajar orang tuanya dahulu ketika masih kecil untuk jujur mengakui kesalahan dan meminta maaf? Kita jelas tidak tahu itu. Tetapi yang kita tahu, tindakan tidak mau mengakui kesalahan ini banyak kali terjadi dan seolah menjadi keumuman. Apalagi ketika kita melihat berita bagaimana para pemimpin sering menimpakan kesalahan pada orang lain ketika terjadi kekeliruan pelaksanaan sebuah kebijakan. Bahkan, di berita juga kita temui, pemimpin menyalahkan korban kebijakannya. Jadi, hal ini mungkin akan menjadi semacam patron yang diikuti oleh warga masyarakat. Jika sudah demikian, maka saling menyalahkan (pertengkaran) menjadi hal yang teramat sangat biasa. Akhirnya, orang yang berani meminta maaf atas sebuah kesalahan yang dilakukan itu menjadi sesuatu yang, "wah". Suatu tindakan berkelas. Padahal, itu sesungguhnya adalah kewajiban, yang sama sekali tidak membutuhkan tepuk tangan karena memang harus dilakukan.

Lebih aneh lagi, ketika seolah semua orang dianggap bakal mengamini bahwa tindakan minta maaf adalah tindakan berkelas, maka sengaja dirancanglah sebuah kesalahan oleh seseorang atau sekelompok orang. Perancangan ini bertujuan, agar nanti ketika kesalahan itu terjadi, kemudian muncul respon atas kesalahan, maka meminta maaf segera dilakukan. Kemudian, orang-orang yang sekelompok dengan si pelaku kesalahan disengaja ini melontarkan pujian bahwa orang yang bersalah tadi sungguh berkelas karena mau meminta maaf. Lebih heboh lagi, para pemuji ini menggaungkan pujian itu untuk menyindir orang atau kelompok lain sebagai tidak berkelas karena tidak pernah minta maaf. Aneh, sungguh aneh. Tetapi hal ini akan banyak kita saksikan dalam kehidupan politik dukung-mendukung di media sosial. (**)

Mandala Krida, 160525 

Sabtu, 10 Mei 2025

Tulis dan Lisan

Banyak orang kaget dengan budaya tulis dalam konteks percakapan atau saling komentar. Dewasa ini, tersedia beragam media untuk ngobrol atau mengomentari seseorang. Tidak jarang, mungkin karena budaya percakapan lisan sudah mengurat-akar dilakoni, orang-orang bertengkar karena tulisan. Di dalam percakapan antarperson, grup, atau mengomentari seseorang dengan tulisan itu seringkali tidak berhasil tersampai dengan baik. Tulisan yang niatnya bercanda diterima sebagai hinaan nan serius. Tulisan yang niatnya memberi nasehat diterima sebagai "menggurui". Tulisan yang niatnya memberi saran diterima sebagai kritik pedas. Orang-orang ini mungkin lupa bahwa tulisan tidak memiliki intonasi sekaya dan sespontan lisan. Meskipun tertulis, "hahahaha....", yang secara dasar dapat diartikan sebagai tertawa, namun tulisan itu tidak memiliki nada dan irama sehingga yang si pembacalah yang memberinya. Oleh karena itu, "hahahaha...", bisa jadi dalam kepala si pembaca terucap dengan nada dan irama yang terkesan sebagai "tawa ejekan", "tawa meremehkan", atau "tawa candaan". Akhirnya, interpretasi menjadi lain dan kekeliruan dalam komunikasi terjadi.

Di dalam hal saling berkomentar, kekeliruan ini tidak hanya terjadi tetapi terkadang justru disengaja. Artinya, orang yang berkomentar itu memang mengkritik keras. Si pengkritik dengan entengnya, "menulis" seolah itu tak berisiko langsung sebagaimana halnya lisan. Sementara itu, si terkritik membacanya dengan nada dan irama yang ada di kepalanya, yang mana kali ini sudah tercampur emosi karena makna selintas tulisan tersebut. Akhirnya si terkritik memberi tanggapan yang tak kalah pedasnya. Kondisi ini semakin parah bilamana kritik-mengkritik ini terjadi secara massal dan bukan antarperson. Dua kubu secara alami terbentuk, pendukung pengkritik dan pendukung terkritik. Semuanya saling membaca dengan nada dan irama yang ada di kepala masing-masing. Jelas, akan sulit dihentikan jika tidak ada yang membawa kesadaran di dalamnya.

Peristiwa akibat tulisan semacam ini tidak hanya terjadi di kalangan awam saja. Artis, politisi, atlet, pebisnis, dan hampir seluruh bidang profesional mengalami. Semua orang menempatkan tulisan sebagai lisan. Padahal jelas, lisan lebih kaya nada dan irama sehingga kalimat yang tertulis seolah sebagai ejeken belum tentu itu ejekan jika dilisankan dengan bercanda. Selain itu, situasi dalam percapakan lisan adalah situasi langsung dan nyata di mana percakapan itu terjadi. Sementara, situasi dalam percakapan tulisan adalah situasi tak nyata yang dibentuk oleh pikiran sebagai akibat dari pembacaan atas tulisan. Situasi ini juga tak memiliki perasaan, namun dianggap nyata berperasaan karena diciptakan sendiri sebagai akibat dari pembacaan tulisan. Keserbataknyataan ini ketika akhirnya melahirkan pertengkaran tulisan yang memuncak akan diselesaikan dengan klarifikasi langsung. Artinya, tatap muka dan menyampaikan secara lisan.

Apakah kemudian dengan lisan semuanya selesai? Tentu saja tidak. Karena lisan lebih kaya nada dan irama serta berhadapan langsung dengan kenyataan, maka perasaan dan pikiran akan bekerja sama untuk aksi-reaksi. Di sini kemudian akan terlihat dan terbaca lisan siapa yang jujur berbicara apa adanya. Apakah terlihat jelas kejujuran itu? Belum tentu, karena sebagian besar orang mengenakan topeng dalam melakoni hidupnya. Bahkan, seringkali topeng ini tak bisa lepas. Kalau sudah begini, lisan yang berbicara itu lisan topeng atau lisan si pemakai topeng? Belum lagi ketika klarifikasi ini divideo lalu diunggah di media yang dapat menerima komentar tulisan, maka peristiwa akan kembali berputar. Terus. 

Dunia memang semakin disibukkan dengan persoalan semacam ini sehari-hari. Dihentikan atau tidak, itu tergantung pada kesadaran diri. (**)

Sedayu, 100525


Sabtu, 03 Mei 2025

Mengenai Penderitaan

Menarik membaca sekilas tulisan Mark Manson dalam bukunya Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Sebagai pembuka ia menampilkan kisah Charles Bukowski yang tetap melakoni hidup sebagaimana dirinya dahulu yang brengsek meskipun sudah terkenal dan sukses. Kisah keterkenalannya juga tidak berjalan lumrah karena Bukowski selalu saja seenaknya sendiri, melakoni hidup sekehendak hatinya, di dalam menyusun karyanya ia tidak pernah berusaha untuk menyenangkan orang lain, terutama para pengkritik. Intinya, ia tidak pernah mau berusaha membuat karya yang menurut pandangan orang lain itu bagus, indah, dan sopan sehingga diminati. Bahkan, ketika karya-karya tulisnya selalu ditolak penerbit ia tetap tidak mengubah gaya tulisannya. Dan ketika pada akhirnya karyanya banyak diminati, karena ada seseorang yang tertarik untuk memasarkannya, ia pun tetap hidup seperti sedia kala, “masa bodoh” dengan hal-hal yang tak penting baginya. Keterkenalan dan kekayaan tidak mengubah dirinya. Ia seolah-olah mengatakan bahwa, jalan untuk sukses, adalah “jangan berusaha”. 


Kisah ini meletupkan gagasan Manson, bahwasanya berusaha dan tidak berusaha pada intinya sama-sama memuat penderitaan di dalamnya. Sama-sama memiliki sisi negatif. Dan karena itu ia memilih untuk menyarankan para pembacanya agar seperti Bukowski, “masa bodoh” dengan hal yang tak penting. Karena bagaimanapun juga “masa bodoh” itu juga merupakan satu usaha yang tidak semua orang bisa melakukannya. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa, orang yang tak mau berusaha keras, dalam arti hanya melakoni hidup apa adanya namun tidak menggantungkan nasib pada orang lain sekaligus tidak merisaukan pandangan orang, mungkin akan dianggap negatif. Namun, orang yang sungguh-sungguh berusaha keras untuk mencapai sesuatu, kebahagiaan misalnya, justru dapat menjadi negatif karena usahanya yang keras itu melahirkan banyak penderitaan yang mesti dilalui di dalamnya. Penderitaan yang harus ia terima atas usahanya mencapai kebahagiaan itu.

Mungkin sedikit banyak terkesan lucu apa yang disarankan oleh Manson itu. Namun, banyak fakta di kehidupan ini yang mempertontonkan seseorang dapat mencapai kesuksesan, berada di puncak karir, memliki banyak properti tapi keluarganya tidak bahagia. Banyak juga kita jumpai orang yang hidupnya terlihat kekurangan secara ekonomi namun berkeluarga bahagia. Kita juga pernah mendengar orang tua berusaha keras menyekolahkan anaknya agar sukses, namun ketika hal itu tercapai justru si anak melupakan orang tuanya. Kita juga pasti pernah mendengar anak-anak yang teramat nakal ketika remaja sehingga menyusahkan orang tuanya justru mampu membalik keadaan ketika dewasa. Di dalam politik juga seringkali terlihat bagaimana  figur yang terlihat pandai, sopan, dan bijak itu merebut puncak kekuasaaan dengan menyingkirkan lawan, bahkan teman dari dalam dan luar golongan dengan cara-cara yang lembut namun cukup sadis.

Pada akhirnya, akan selalu ada penderitaan di dalam kehidupan manusia. Sehebat apapun kita menghindarinya, ia akan datang senantiasa dalam saat, bentuk, dan sifat yang berbeda. Jadi, karena kita tidak akan pernah bisa menghindar dari penderitaan, maka kita perlu menerima derita itu menjadi bagian dari diri kita. Penerimaan ini akan menyadarkan bahwa kita tidak perlu melihat kepada kesukseskan, kekayaan, dan segala hal yang ada pada orang lain, karena toh di sisi yang lain mereka juga memiliki penderitaan. Oleh karena itu, kita perlu bersikap “masa bdoh” atas hal-hal yang tak penting bagi kita karena kita juga memiliki penderitaan kita sendiri yang perlu kita terima dengan segenap kesadaran. (**)

Kolbano Coffee & Eatery, 030525


Rabu, 19 Juli 2023

Sistem Uang

Di dalam kehidupan keseharian, orang-orang sibuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang selalu saja dianggap kurang. Jarang sekali ada yang benar-benar mempertanyakan mengapa kebutuhan itu tidak pernah bisa tercukupi. Sangat jarang yang perduli untuk mencari sebab mengapa keseharian mereka seperti itu. Segala bentuk pemenuhan kebutuhan keseharian itu kemudian tergeneralisasi dalam upaya mencari uang. Artinya, ketika uang didapat, maka kebutuhan tertentu bisa dipenuhi, sementara kebutuhan lain nanti akan terpenuhi ketika ada uang lain lagi, demikian seterusnya. Problematika harian pun akhirnya berkuat pada soal uang, dan keadaan semacam ini bejalan di hampir semua komunitas kehidupan selama bertahun-tahun (untuk tidak mengatakan, mungkin akan selamanya). Karena jarangnya orang membicarakan perihal sebab mengapa bisa menjadi seperti itu, maka sebab itu dianggap tidak ada lagi. Artinya, mencari uang sebagai jalan utama untuk memenuhi kebutuhan itu sudah kewajiban orang hidup. 

Pada satu titik hal tersebut sangat benar karena fungsi uang sebagai alat tukar pokok. Tetapi ketika dikaitkan dengan kebutuhan, maka akan menjadi korelasi beracun karena ternyata kebutuhan baru akan terus muncul sehingga tidak pernah cukup seberapapun uang yang didapat. Fenomena ini sepertinya dialami orang-orang sehingga memang pada akhirnya hidup hanya untuk mencari uang. Ketika ada satu kesadaran baru yang terbuka melalui obrolan, tukar informasi, aktivitas komunikasi, atau media lainnya mengenai mengapa hal semacam itu terjadi dan berujung pada adanya sistem yang diciptakan, maka semua seolah sepakat untuk menyalahkan atau bahkan membenci institusi atau orang-orang di baliknya. Namun demikian, ketika institusi atau orang-orang di balik sistem itu memberi tawaran pekerjaan yang tentu saja berupah uang, maka kesadaran yang telah singgah tadi serta-merta sirna. Mereka menjadi bersetuju pada sistem dan sebagian malah betah berada di dalamnya dan bahkan semakin keras berusaha untuk memperbanyak pundi-pundinya. Tanpa perduli akan yang lain. Ia yang pernah sadar bahwa ia adalah korban sistem berubah menjadi sistem itu sendiri yang dengan segera akan mencari korban berikutnya. Demikian seterusnya, bagaikan mesin yang tak berhenti. (+)

Prawirotaman, 190723

Makan dan Bunyi

Sewaktu saya kecil dulu, di mana keluarga saya tergolong miskin, mendiang Ibu dan Bulik saya selalu akan marah ketika saat makan mulut saya mengeluarkan bunyi. Kata mereka itu tidak sopan, tidak nyaman didengar di telinga, bahkan saya dipersamakan dengan binatang jika mulut berbunyi ketika mengunyah. Ternyata tidak hanya sampai di situ, ketika sendok beradu dengan piring dan itu mengeluarkan bunyi, maka sontak mereka akan marah. Karena itu, tindakan makan menjadi semacam ritual yang harus dilakukan dengan hening. Namun pun demikian, ketika saya dan adik-adik saya makan terlalu pelan karena menyendoknya sedikit demi sedikit, itu pun juga kena semprot sebab laku seperti itu menandakan orang yang pelit dan jumawa karena makanannya takut habis duluan sekaligus bangga melhat makanan orang lain yang telah habis. Dengan demikian, ritual makan itu pun saya lakukan dengan hening sekaligus gegas dan oleh mereka itulah yang disebut sebagai tata kramanya orang makan. Termasuk ketika makan dalam acara pernikahan atau perhelatan di kampung, ketika semua sudah selesai dan berhenti makan, maka saya pun harus segera menghentikan makan saya. Kita tidak boleh makan ketika orang lain tidak makan, itu intinya. Jadi ada nilai penghormatan bagi orang lain dalam tindakan makan. Nilai ini saya sadari setelah dewasa dan tulisan ini saya buat ketika ada orang dewasa posisi satu setengah meter di samping saya, makan dengan kunyahan berbunyi keras dan tentu saja saya tidak mungkin berbuat seperti mendiang Ibu dan Bulik. (+)

The Capsule Malioboro, 190723