Satu hari, di dalam sebuah kendaraan umum, saya menyaksikan seseorang berpindah-pindah tempat duduk. Sementara kendaraan belum berjalan dan kursi penumpang semuanya bernomor. Saya agak bingung dan mencoba ngobrol dengan penumpang lain yang duduk di samping saya. "Orang itu kenapa ya pak pindah-pindah tempat duduk?" Dengan ringan dan setengah cuek orang itu menjawab, "Biarkan saja pak yang penting tidak mengganggu kita". Jawaban itu seolah menyadarkan saya untuk berkata, "Iya, ya", ngapain kita perlu repot pada tingkah seseorang yang tidak sedang mengusik kita. Karena kesadaran sesaat itu saya yang tadinya ingin tahu niat sesungguhnya dari penumpang berpindah-pindah tempat duduk itu menjadi diam dan setengah mengobservasi penumpang di samping saya. Secara sekilas saya kagum atas jawaban seenteng dan setenang itu. "Baiklah", demikian ujar saya dalam hati dan mengambil sikap ikut-ikutan tenang.
Namun, pikiran tenang saya ternyata hanya sementara. Tak lama kemudian berkelebat pikiran lain sebagai reaksi atas tindakan penumpang berpindah-pindah tempat itu. Meski kecamuk pikiran terjadi, tubuh dan sikap saya tetap berusaha tenang. Di kepala saya terpikirkan tentang kursi bernomor di mana setiap penumpang pasti sudah memiliki tiket sesuai dengan nomor kursi. Apakah penumpang yang berpindah-pindah tadi bingung mencari nomor kursinya atau dia mencoba mencari kursi mana pun yang bagi dia nyaman sehingga tentu saja tidak sesuai dengan nomor kursi yang telah ia miliki? Semua pertanyaan ini saya coba jawab sendiri dalam pikiran termasuk akibat yang mungkin akan ditimbulkan dari jawaban tersebut. Namun demikian, saya tetap tenang dan bahkan mencoba memejamkan mata agar tidak melihat akibat apa yang bakal timbul setelah semua penumpang ada dan menduduki kursinya masing-masing sesuai nomor.
Ketika mata terpejam justru pikiran saya mengarah pada reaksi penumpang yang duduk di samping saya. Bukan lagi soal ketenangannya dalam bersikap, melainkan ekor kalimat jawabannya, "... yang penting tidak mengganggu kita". Hal ini membuat saya berpikir, "Jadi, kalau ada orang berpotensi mengganggu orang lain, kita boleh bersikap tak acuh karena tidak mengganggu kita?" "Jika semua orang bersikap tenang namun dengan semangat seperti ini lalu bagaimana jika ada potensi kriminal dalam sebuah peristiwa di publik?" "Apakah kita juga tetep cuek karena potensi itu tidak bakal terjadi pada kita?" "Lalu bagaimana jika potensi itu benar-benar terjadi?" "Apakah kita juga cuek karena kita bukan korbannya?" Banyak pertanyaan dalam pikiran yang mungkin terdengar aneh dan berlebihan melintasi kepala saya. Semua itu nampak terlalu halu. Namun apa yang halu di pertanyaan pikiran saya itu seringkali menjadi nyata ketika ada kecelakaan kecil, misalnya orang terjatuh dari motornya di pinggir jalan dan tak seorang pun mencoba menolong, bahkan menoleh pun tidak. Kalau sudah begini, maka apakah ekor kalimat ".... yang penting tidak mengganggu kita", masih bisa berlaku? (**)
Sedayu, 210525