Sejak kecil umumnya dari kita diajar untuk bertindak jujur. Jika melakukan kesalahan kita diharuskan untuk meminta maaf, karena akibat dari kesalahan itu kita bisa merugikan orang lain. Artinya, minta maaf adalah sebuah kewajiban. Namun dewasa ini, banyak kita temui baik nyata atau dalam berita bahwa tidak sedikit orang yang bersalah tidak mau minta maaf, bahkan menyalahkan orang lain atas kesalahannya. Di jalanan macet sering kita temui, seseorang tidak sengaja menabrak kendaraan orang lain. Entah karena gugup sebab macet, entah karena hilang kendali sesaat. Anehnya, si penabrak ini dengan lantang menyalahkan orang yang ditabrak dengan berbagai alasan. Ini dilakukannya agar orang yang tertabrak tadi tidak menyalahkannya. Ketika si tertabrak merasa tidak terima disalahkan karena memang ia tidak salah, maka pertengkaran pun akan terjadi. Mula-mula verbal, lalu saling berbesar volume suara, kemudian jika tak terkendali fisik mulai terlibat. Semua ini terjadi karena ketidakjujuran melakukan kesalahan dan meminta maaf atas hal tersebut. Padahal jika itu dilakukan pasti semuanya akan beres dalam sekejap.
Peristiwa semacam di atas, sudah seringkali terjadi dan si salah tak mau minta maaf. Lalu, apakah orang-orang ini tidak diajar orang tuanya dahulu ketika masih kecil untuk jujur mengakui kesalahan dan meminta maaf? Kita jelas tidak tahu itu. Tetapi yang kita tahu, tindakan tidak mau mengakui kesalahan ini banyak kali terjadi dan seolah menjadi keumuman. Apalagi ketika kita melihat berita bagaimana para pemimpin sering menimpakan kesalahan pada orang lain ketika terjadi kekeliruan pelaksanaan sebuah kebijakan. Bahkan, di berita juga kita temui, pemimpin menyalahkan korban kebijakannya. Jadi, hal ini mungkin akan menjadi semacam patron yang diikuti oleh warga masyarakat. Jika sudah demikian, maka saling menyalahkan (pertengkaran) menjadi hal yang teramat sangat biasa. Akhirnya, orang yang berani meminta maaf atas sebuah kesalahan yang dilakukan itu menjadi sesuatu yang, "wah". Suatu tindakan berkelas. Padahal, itu sesungguhnya adalah kewajiban, yang sama sekali tidak membutuhkan tepuk tangan karena memang harus dilakukan.
Lebih aneh lagi, ketika seolah semua orang dianggap bakal mengamini bahwa tindakan minta maaf adalah tindakan berkelas, maka sengaja dirancanglah sebuah kesalahan oleh seseorang atau sekelompok orang. Perancangan ini bertujuan, agar nanti ketika kesalahan itu terjadi, kemudian muncul respon atas kesalahan, maka meminta maaf segera dilakukan. Kemudian, orang-orang yang sekelompok dengan si pelaku kesalahan disengaja ini melontarkan pujian bahwa orang yang bersalah tadi sungguh berkelas karena mau meminta maaf. Lebih heboh lagi, para pemuji ini menggaungkan pujian itu untuk menyindir orang atau kelompok lain sebagai tidak berkelas karena tidak pernah minta maaf. Aneh, sungguh aneh. Tetapi hal ini akan banyak kita saksikan dalam kehidupan politik dukung-mendukung di media sosial. (**)
Mandala Krida, 160525
Tidak ada komentar:
Posting Komentar