Sabtu, 10 Mei 2025

Tulis dan Lisan

Banyak orang kaget dengan budaya tulis dalam konteks percakapan atau saling komentar. Dewasa ini, tersedia beragam media untuk ngobrol atau mengomentari seseorang. Tidak jarang, mungkin karena budaya percakapan lisan sudah mengurat-akar dilakoni, orang-orang bertengkar karena tulisan. Di dalam percakapan antarperson, grup, atau mengomentari seseorang dengan tulisan itu seringkali tidak berhasil tersampai dengan baik. Tulisan yang niatnya bercanda diterima sebagai hinaan nan serius. Tulisan yang niatnya memberi nasehat diterima sebagai "menggurui". Tulisan yang niatnya memberi saran diterima sebagai kritik pedas. Orang-orang ini mungkin lupa bahwa tulisan tidak memiliki intonasi sekaya dan sespontan lisan. Meskipun tertulis, "hahahaha....", yang secara dasar dapat diartikan sebagai tertawa, namun tulisan itu tidak memiliki nada dan irama sehingga yang si pembacalah yang memberinya. Oleh karena itu, "hahahaha...", bisa jadi dalam kepala si pembaca terucap dengan nada dan irama yang terkesan sebagai "tawa ejekan", "tawa meremehkan", atau "tawa candaan". Akhirnya, interpretasi menjadi lain dan kekeliruan dalam komunikasi terjadi.

Di dalam hal saling berkomentar, kekeliruan ini tidak hanya terjadi tetapi terkadang justru disengaja. Artinya, orang yang berkomentar itu memang mengkritik keras. Si pengkritik dengan entengnya, "menulis" seolah itu tak berisiko langsung sebagaimana halnya lisan. Sementara itu, si terkritik membacanya dengan nada dan irama yang ada di kepalanya, yang mana kali ini sudah tercampur emosi karena makna selintas tulisan tersebut. Akhirnya si terkritik memberi tanggapan yang tak kalah pedasnya. Kondisi ini semakin parah bilamana kritik-mengkritik ini terjadi secara massal dan bukan antarperson. Dua kubu secara alami terbentuk, pendukung pengkritik dan pendukung terkritik. Semuanya saling membaca dengan nada dan irama yang ada di kepala masing-masing. Jelas, akan sulit dihentikan jika tidak ada yang membawa kesadaran di dalamnya.

Peristiwa akibat tulisan semacam ini tidak hanya terjadi di kalangan awam saja. Artis, politisi, atlet, pebisnis, dan hampir seluruh bidang profesional mengalami. Semua orang menempatkan tulisan sebagai lisan. Padahal jelas, lisan lebih kaya nada dan irama sehingga kalimat yang tertulis seolah sebagai ejeken belum tentu itu ejekan jika dilisankan dengan bercanda. Selain itu, situasi dalam percapakan lisan adalah situasi langsung dan nyata di mana percakapan itu terjadi. Sementara, situasi dalam percakapan tulisan adalah situasi tak nyata yang dibentuk oleh pikiran sebagai akibat dari pembacaan atas tulisan. Situasi ini juga tak memiliki perasaan, namun dianggap nyata berperasaan karena diciptakan sendiri sebagai akibat dari pembacaan tulisan. Keserbataknyataan ini ketika akhirnya melahirkan pertengkaran tulisan yang memuncak akan diselesaikan dengan klarifikasi langsung. Artinya, tatap muka dan menyampaikan secara lisan.

Apakah kemudian dengan lisan semuanya selesai? Tentu saja tidak. Karena lisan lebih kaya nada dan irama serta berhadapan langsung dengan kenyataan, maka perasaan dan pikiran akan bekerja sama untuk aksi-reaksi. Di sini kemudian akan terlihat dan terbaca lisan siapa yang jujur berbicara apa adanya. Apakah terlihat jelas kejujuran itu? Belum tentu, karena sebagian besar orang mengenakan topeng dalam melakoni hidupnya. Bahkan, seringkali topeng ini tak bisa lepas. Kalau sudah begini, lisan yang berbicara itu lisan topeng atau lisan si pemakai topeng? Belum lagi ketika klarifikasi ini divideo lalu diunggah di media yang dapat menerima komentar tulisan, maka peristiwa akan kembali berputar. Terus. 

Dunia memang semakin disibukkan dengan persoalan semacam ini sehari-hari. Dihentikan atau tidak, itu tergantung pada kesadaran diri. (**)

Sedayu, 100525


Tidak ada komentar:

Posting Komentar