Selepas makan malam, muncul diskusi kecil antara saya dan
istri soal setan dalam diri. Satu hal umum dan menarik untuk dibicarakan sambil
santai. Setan, sepanjang pemahaman saya dan istri, adalah makhluk yang ditugaskan
untuk menggoda manusia agar berbuat jahat. Dalam pemahaman ini, setan berada di
luar diri manusia dan manusia berbuat jahat karena tergoda olehnya. Artinya,
dengan kata lain, manusia tidak akan berbuat jahat tanpa adanya setan. Mungkin karena
pemahaman seperti ini, maka seseorang yang berbuat jahat dapat dengan mudah
menyalahkan setan. Artinya, ia berbuat seperti itu karena atas pengaruh setan.
Namun demikian, ketika kita mau sedikit memahami bahwa
sebesar apapun pengaruh setan itu, pada akhirnya, kita jugalah yang akan menentukan
dan melakukan perbuatan tersebut. Jadi, secara komprehensif pada dasarnya kitalah
yang berbuat jahat. Oleh karena itu sebenarnya tidaklah sangat bijaksana
melempar kesalahan yang telah kita lakukan pada makhluk lain. Pemahaman bahwa
kitalah pada akhirnya yang menentukan hendak berbuat apa dalam kehidupan ini
akan menempatkan setan sebagai sifat buruk yang senantiasa ada dalam diri kita
sebagaimana halnya sifat baik. Dengan demikian, apapun yang kita lakukan adalah
tanggung jawab kita dan bukan orang atau makhluk lain.
Setan sebagai sifat buruk yang ada dalam diri tidak mesti
merupakan perbuatan jahat, namun bisa saja sesuatu yang sebenarnya baik tetapi
tidak dapat kita kendalikan sehingga berakibat buruk. Pekerjaan adalah sesuatu
yang baik dilakukan demi keberlangsungan hidup, namun, ketika hal itu dikerjakan
dengan tanpa mengenal waktu dan akhirnya merusak kesehatan tubuh kita, maka itu
menjadi sesuatu yang buruk. Kepemilikan harta adalah sesuatu yang baik karena
dengan itu kita dapat menyelenggarakan hidup dengan aman, namun, menumpuk harta
dengan membabi-buta bisa saja mengarahkan kita pada tindak menghalalkan segala
cara, maka itu menjadi sesuatu yang buruk juga. Dengan pemahaman semacam ini,
kita mesti mampu mengendalikan sifat baik dan buruk dalam menjalani hidup dan
tidak perlu melemparkan kesalahan pada setan, karena ia ada di dalam diri kita.
Diskusi kecil selepas makan malam antara saya dan istri meninggalkan
satu pemahaman yang sangat berharga. Ia dan saya saling tatap dan merasa tidak
menduga bahwa ada kebijaksanaan dalam pembicaraan ringan selepas makan. Aku
tersenyum karena itu, dan istrikupun tersenyum, tetapi ia tetap menatapku, bahkan
tanpa kedip. Kupikir, ia masih memikirkan tentang pemahaman setan dalam diri
itu. Tetapi sejenak kemudian aku tahu bahwa tatapannya seolah mengingatkan ada
setan dalam diriku yang selalu hadir selepas makan, yaitu ketidakmauan
membereskan meja makan. Ohh… (**)
Domas, 220221
Tidak ada komentar:
Posting Komentar