Sewaktu
saya kecil, bersama teman-teman di kampung, ketika sedang asyik bermain dan
tiba-tiba ada kapal terbang lewat, maka segera saja permainan tersebut
berhenti. Semua menengadah ke atas dan melambaikan tangan atau sama-sama
menengadahkan tangan dan berseru, “Montor mabur, njaluk duite!”. Kalimat “Montor
mabur njaluk duite” yang secara harfiah berarti “Kapal terbang minta uangnya”
ini tidak jelas asal-usulnya. Namun demikian, kalimat tersebut seolah memang
telah membudaya. Kami, anak-anak hampir selalu menyerukan kalimat tersebut
ketika ada kapal terbang lewat terutama ketika terbang tak terlalu tinggi.
Mungkinkan ini budaya meminta-minta? Tentu saja jawabannya belum tentu. Bisa
saja anak-anak hanya sekedar menirukan dan tidak sungguh bermaksud untuk
meminta uang kepada kapal terbang. Tetapi, anak-anak tersebut meniru siapa dan
apa maksud sesungguhnya kalimat tersebut bagi orang yang ditiru anak-anak?
Jika
ditilik dari makna “meminta” dalam kalimat tersebut, maka seolah-olah
menggambarkan bahwa kapal terbang atau orang yang naik kapal terbang memiliki
banyak uang sehingga patut untuk dimintai. Jika memang maknanya adalah meminta –
meskipun jelas tidak mungkin diberi - maka hal ini menandakan adanya kekurangan
dalam diri anak-anak tersebut, yaitu uang. Anak-anak yang bermain tidak
memiliki uang sehingga perlu memintanya kepada kapal terbang atau orang yang
naik kapal terbang. Pertanyaannya kemudian adalah, sejak kapan anak-anak
memerlukan uang? Kemungkinan besar, budaya uang dalam diri anak-anak lahir atas
peran serta – langsung atau tidak – orang tuanya. Bisa jadi mereka memahami
bahwa uang memang sangat diperlukan oleh orang tua mereka dan uang dapat
mencukupi semua kekurangan yang ada. Karena mereka belum bisa bekerja, maka
menjadi hal yang wajar untuk meminta. Tetapi, apakah “meminta” juga merupakan budaya
turunan yang menjelaskan bahwa perilaku tersebut adalah hal wajar dalam
keseharian dan bukan sebagai konsekuensi logis atas belum bekerjanya anak-anak?
Jawabannya bisa iya atau tidak.
Ada
dua hal penting yang patut diperhatikan untuk menjawab pertanyaan tersebut,
yaitu “meminta” dan “uang”. Kedua hal ini secara sederhana menjelaskan bahwa
uang itu bisa diminta atau meminta uang itu merupakan kewajaran. Logika
dasarnya adalah bahwa uang tidak didapat dari pekerjaan melainkan diminta. Ini
jelas bukan logika orang dewasa, karena mereka mendapatkan uang karena bekerja.
Tetapi apakah logika orang dewasa selalu begitu? Apakah uang yang didapat dari
kerja selalu cukup sehingga tidak perlu dicari dengan jalan lain? Jawaban dari
kedua pertanyaan ini menyangkut soal pengelolaan yang berkaitan dengan apa yang
dimiliki dan apa yang dibutuhkan. Uang jelas tidak perlu diminta dari orang
lain yang lebih kaya jika uang yang dimiliki cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup, demikian logikanya. Tetapi rupanya logika tidak selamanya berjalan
seiring kenyataan
Setiap
orang pasti akan marah ketika disebut sebagai pengemis atau tukang
meminta-minta. Namun kenyataan selalu menyampaikan keberanannya. Gambaran orang
yang tidak tercukupi kebutuhan uangnya, meskipun sudah bekerja, seringkali muncul
dalam kehidupan nyata. Iwan Fals bahkan menyuarakan dalam salah satu syair
lagunya, “Penguasa, penguasa, berilah hambamu uang!”. Syair ini tidak ada
bedanya dengan seruan anak-anak kecuali “montor mabur” diganti dengan “penguasa”.
Mungkin syair itu memiliki makna politis di mana “uang” adalah lapangan pekerjaan
yang tak kunjung diwujudkan oleh “penguasa”. Namun kata “berilah” sedikit
banyak menggambarkan tindakan meminta dibandingkan menciptakan. Tindakan
meminta ini rupanya tidak melulu berdasar atas ketidakpunyaan. Banyak berita
tersiar mengenai orang-orang yang saling berebut jatah uang atas nama Program
Bantuan Langsung Tunai dari Pemerintah meskipun ada sebagian dari mereka sudah
bekerja dengan gaji sesuai standar. Bahkan ada yang antre di loket pembayaran
sambil mengenakan perhiasan dan datang dengan kendaraan pribadi. Belum lagi
kisah tentang orang yang meninggal karena antre pemberian sembako dan atau uang
dari orang lain di hari besar tertentu dan orang tersebut juga tidak bisa
dikatagorikan miskin. Bahkan di beberapa instansi orang saling berebut tugas –
sampai meminta-minta- hanya demi upah plus (fresh
money) yang didapatkan dari tugas tersebut. Intinya, tindakan meminta tidak
sebanding dengan ketidakpunyaan. Jika dihubungkan dengan uang, tindakan tersebut
muncul sebagai akibat dari buruknya pengelolaan sehingga akhirnya kekurangan
uang. Atau bisa juga sebagai akibat dari berlebihnya kebutuhan (yang sengaja
diciptakan). Jika tidak terkait dengan segala kekurangan atau kebutuhan, maka
tindakan meminta tidak perlu ada, dan ketika pada akhirnya ada, maka bisa dipastikan
terkait dengan mentalitas pelakunya. Jadi seruan anak-anak “Montor mabur njaluk
duite!” itu bisa jadi merupakan perwujudan mentalitas yang mungkin telah
membudaya di lingkungan mereka. (**)
Kuala
Lumpur, KLIA2, 23 Des 19
Mantab pak eko....
BalasHapusSip!!
HapusJosss .... Terus berkarya pak Eko
BalasHapusSip!!
HapusSuiiiipppp �� pak Eko...riil banget��
BalasHapusOmong² nih,dulu saya kecil juga gitu loh...tiap denger pesawat diatas rumah langsung lari ke halaman depan dan teriak...nyuwun duit e����
Hehehe...mekaten
Hapus