Senin, 23 Desember 2019

Montor Mabur Njaluk Duite!


Sewaktu saya kecil, bersama teman-teman di kampung, ketika sedang asyik bermain dan tiba-tiba ada kapal terbang lewat, maka segera saja permainan tersebut berhenti. Semua menengadah ke atas dan melambaikan tangan atau sama-sama menengadahkan tangan dan berseru, “Montor mabur, njaluk duite!”. Kalimat “Montor mabur njaluk duite” yang secara harfiah berarti “Kapal terbang minta uangnya” ini tidak jelas asal-usulnya. Namun demikian, kalimat tersebut seolah memang telah membudaya. Kami, anak-anak hampir selalu menyerukan kalimat tersebut ketika ada kapal terbang lewat terutama ketika terbang tak terlalu tinggi. Mungkinkan ini budaya meminta-minta? Tentu saja jawabannya belum tentu. Bisa saja anak-anak hanya sekedar menirukan dan tidak sungguh bermaksud untuk meminta uang kepada kapal terbang. Tetapi, anak-anak tersebut meniru siapa dan apa maksud sesungguhnya kalimat tersebut bagi orang yang ditiru anak-anak?

Jika ditilik dari makna “meminta” dalam kalimat tersebut, maka seolah-olah menggambarkan bahwa kapal terbang atau orang yang naik kapal terbang memiliki banyak uang sehingga patut untuk dimintai. Jika memang maknanya adalah meminta – meskipun jelas tidak mungkin diberi - maka hal ini menandakan adanya kekurangan dalam diri anak-anak tersebut, yaitu uang. Anak-anak yang bermain tidak memiliki uang sehingga perlu memintanya kepada kapal terbang atau orang yang naik kapal terbang. Pertanyaannya kemudian adalah, sejak kapan anak-anak memerlukan uang? Kemungkinan besar, budaya uang dalam diri anak-anak lahir atas peran serta – langsung atau tidak – orang tuanya. Bisa jadi mereka memahami bahwa uang memang sangat diperlukan oleh orang tua mereka dan uang dapat mencukupi semua kekurangan yang ada. Karena mereka belum bisa bekerja, maka menjadi hal yang wajar untuk meminta. Tetapi, apakah “meminta” juga merupakan budaya turunan yang menjelaskan bahwa perilaku tersebut adalah hal wajar dalam keseharian dan bukan sebagai konsekuensi logis atas belum bekerjanya anak-anak? Jawabannya bisa iya atau tidak.

Ada dua hal penting yang patut diperhatikan untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu “meminta” dan “uang”. Kedua hal ini secara sederhana menjelaskan bahwa uang itu bisa diminta atau meminta uang itu merupakan kewajaran. Logika dasarnya adalah bahwa uang tidak didapat dari pekerjaan melainkan diminta. Ini jelas bukan logika orang dewasa, karena mereka mendapatkan uang karena bekerja. Tetapi apakah logika orang dewasa selalu begitu? Apakah uang yang didapat dari kerja selalu cukup sehingga tidak perlu dicari dengan jalan lain? Jawaban dari kedua pertanyaan ini menyangkut soal pengelolaan yang berkaitan dengan apa yang dimiliki dan apa yang dibutuhkan. Uang jelas tidak perlu diminta dari orang lain yang lebih kaya jika uang yang dimiliki cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, demikian logikanya. Tetapi rupanya logika tidak selamanya berjalan seiring kenyataan

Setiap orang pasti akan marah ketika disebut sebagai pengemis atau tukang meminta-minta. Namun kenyataan selalu menyampaikan keberanannya. Gambaran orang yang tidak tercukupi kebutuhan uangnya, meskipun sudah bekerja, seringkali muncul dalam kehidupan nyata. Iwan Fals bahkan menyuarakan dalam salah satu syair lagunya, “Penguasa, penguasa, berilah hambamu uang!”. Syair ini tidak ada bedanya dengan seruan anak-anak kecuali “montor mabur” diganti dengan “penguasa”. Mungkin syair itu memiliki makna politis di mana “uang” adalah lapangan pekerjaan yang tak kunjung diwujudkan oleh “penguasa”. Namun kata “berilah” sedikit banyak menggambarkan tindakan meminta dibandingkan menciptakan. Tindakan meminta ini rupanya tidak melulu berdasar atas ketidakpunyaan. Banyak berita tersiar mengenai orang-orang yang saling berebut jatah uang atas nama Program Bantuan Langsung Tunai dari Pemerintah meskipun ada sebagian dari mereka sudah bekerja dengan gaji sesuai standar. Bahkan ada yang antre di loket pembayaran sambil mengenakan perhiasan dan datang dengan kendaraan pribadi. Belum lagi kisah tentang orang yang meninggal karena antre pemberian sembako dan atau uang dari orang lain di hari besar tertentu dan orang tersebut juga tidak bisa dikatagorikan miskin. Bahkan di beberapa instansi orang saling berebut tugas – sampai meminta-minta- hanya demi upah plus (fresh money) yang didapatkan dari tugas tersebut. Intinya, tindakan meminta tidak sebanding dengan ketidakpunyaan. Jika dihubungkan dengan uang, tindakan tersebut muncul sebagai akibat dari buruknya pengelolaan sehingga akhirnya kekurangan uang. Atau bisa juga sebagai akibat dari berlebihnya kebutuhan (yang sengaja diciptakan). Jika tidak terkait dengan segala kekurangan atau kebutuhan, maka tindakan meminta tidak perlu ada, dan ketika pada akhirnya ada, maka bisa dipastikan terkait dengan mentalitas pelakunya. Jadi seruan anak-anak “Montor mabur njaluk duite!” itu bisa jadi merupakan perwujudan mentalitas yang mungkin telah membudaya di lingkungan mereka. (**)

Kuala Lumpur, KLIA2, 23 Des 19

6 komentar:

  1. Josss .... Terus berkarya pak Eko

    BalasHapus
  2. Suiiiipppp �� pak Eko...riil banget��
    Omong² nih,dulu saya kecil juga gitu loh...tiap denger pesawat diatas rumah langsung lari ke halaman depan dan teriak...nyuwun duit e����

    BalasHapus