Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki hubungan timbal-balik dengan manusia lain. Hubungan timbal-balik ini secara sederhana dapat diimajinasikan dari konsep "take and give", atau kegiatan saling memberi dan menerima antara manusia satu dengan manusia lain. Apa yang diterima adalah timbal-balik dari apa yang diberikan. Konsepsi sederhana ini lah yang mendasari sistem kerja manusia. Seorang pekerja menerima upah sebagai imbalan atas kompetensi yang telah ia berikan. Dengan sistem kerja seperti ini manusia melangsungkan hidupnya dan mampu bertahan bahkan berkembang hingga sampai taraf tak terbayangkan. Kebertahanan manusia ini dengan demikian bergantung pada manusia lain karena konsep si "take and give" itu melengkapkan kebutuhan hidup setiap manusia. Dengan demikian ada aktivitas tukar-menukar - yang tentu saja dilakukan dengan penuh tanggung jawab - di situ. Apa yang dipertukarkan (semestinya) merupakan bentuk utuh dari aktualisasi diri manusia. Sebab jika tidak, maka mutu yang dipertukarkan menjadi tak sebanding dengan keberlangsungan hidup manusia itu sendiri di mana si penukar adalah juga manusia. Artinya, pertukaran sebagai wujud aktualisasi diri itu sepenuhnya bertautan dengan kualitas hidup manusia lain. Saya akan berhati-hati dalam menukarkan gagasan saya kepada orang lain. Karena jika gagasan itu tidak berguna baginya, maka ia pasti tidak akan menukarkan apa yang ia miliki di mana yang ia miliki adalah sesuatu yang saya butuhkan, misalnya uang. Jadi pertukaran ini semestinya mutualistis, tidak boleh tidak. Mutual bisa terjadi ketika kualitas yang diberikan setara dengan kualitas yang didapatkan.
Kualitas inilah yang dewasa ini menjadi persoalan dan menjadikan aktivitas tukar-menukar tak mutual namun dipaksakan untuk diterima. Kualitas dalam sejarah kehidupan manusia bersifat faktual, bisa dilihat dan diuji. Apa yang faktual ini kemudian direkam menjadi data. Karena data benar-benar direkam berdasarkan fakta, maka data dan fakta dalam taraf ini adalah mutual. Mengingat dunia tempat manusia hidup begitu luasnya, maka kualitas faktual ini kemudian diwakilkan pada data. Artinya, orang tidak perlu lagi melihat dan menguji secara langsung kualitas barang dan jasa yang hendak dipertukarkan (karena lokasi yang jauh misalnya) maka cukup dengan memeriksa data yang ada. Nah penggunaan data sebagai kesetaraan kualitas ini lama-lama mengalami pelapukan. Banyak terjadi bahkan mungkin umum terjadi data-data itu sama sekali tak setara dengan kualitas faktualnya. Misalnya, seseorang secara data dinyatakan berkualitas namun secara fakta jauh sekali dari data yang ada. Hal ini jelas memperburuk kemanusiaan karena data yang ada tak senyatanya sehingga manusia pemilik data itu bukanlah manusia sesungguhnya secara faktual. Seseorang secara data (sertifikat, cv, atau ijazah) dinyatakan sebagai insinyur, namun secara nyata ia tak bisa membangun apapun, maka sesungguhnya orang itu bukanlah manusia insinyur. Data yang tak menunjukkan kualitas aslinya inilah yang membuat manusia pemilik data itu sejatinya telah mematikan kemanusiaannya.
Pokok persoalan tentu saja ada pada si pencatat atau pemberi data tersebut, di mana datanya tidak sesuai fakta. Namun anehnya, banyak perumus kualitas ini bahkan sama sekali mengabaikan fakta. Struktur instrumentasi yang dibuat murni hanya berbasis data tanpa perlu uji fakta. Dan lebih aneh lagi, hal ini banyak terjadi di bidang pekerjaan pendidikan di mana pertukaran kualitas antarmanusia itu menentukan peradaban. Tentu saja peradaban manusia tak akan bisa dibangunkan, dengan kondisi seperti ini, karena sejatinya telah mati sebelum tumbuh bersamaan dengan matinya kemanusiaan manusia penumbuhnya yang hidup dan mempertukarkan hidupnya hanya sebatas data.(**)
Luxury, 131019
Kualitas inilah yang dewasa ini menjadi persoalan dan menjadikan aktivitas tukar-menukar tak mutual namun dipaksakan untuk diterima. Kualitas dalam sejarah kehidupan manusia bersifat faktual, bisa dilihat dan diuji. Apa yang faktual ini kemudian direkam menjadi data. Karena data benar-benar direkam berdasarkan fakta, maka data dan fakta dalam taraf ini adalah mutual. Mengingat dunia tempat manusia hidup begitu luasnya, maka kualitas faktual ini kemudian diwakilkan pada data. Artinya, orang tidak perlu lagi melihat dan menguji secara langsung kualitas barang dan jasa yang hendak dipertukarkan (karena lokasi yang jauh misalnya) maka cukup dengan memeriksa data yang ada. Nah penggunaan data sebagai kesetaraan kualitas ini lama-lama mengalami pelapukan. Banyak terjadi bahkan mungkin umum terjadi data-data itu sama sekali tak setara dengan kualitas faktualnya. Misalnya, seseorang secara data dinyatakan berkualitas namun secara fakta jauh sekali dari data yang ada. Hal ini jelas memperburuk kemanusiaan karena data yang ada tak senyatanya sehingga manusia pemilik data itu bukanlah manusia sesungguhnya secara faktual. Seseorang secara data (sertifikat, cv, atau ijazah) dinyatakan sebagai insinyur, namun secara nyata ia tak bisa membangun apapun, maka sesungguhnya orang itu bukanlah manusia insinyur. Data yang tak menunjukkan kualitas aslinya inilah yang membuat manusia pemilik data itu sejatinya telah mematikan kemanusiaannya.
Pokok persoalan tentu saja ada pada si pencatat atau pemberi data tersebut, di mana datanya tidak sesuai fakta. Namun anehnya, banyak perumus kualitas ini bahkan sama sekali mengabaikan fakta. Struktur instrumentasi yang dibuat murni hanya berbasis data tanpa perlu uji fakta. Dan lebih aneh lagi, hal ini banyak terjadi di bidang pekerjaan pendidikan di mana pertukaran kualitas antarmanusia itu menentukan peradaban. Tentu saja peradaban manusia tak akan bisa dibangunkan, dengan kondisi seperti ini, karena sejatinya telah mati sebelum tumbuh bersamaan dengan matinya kemanusiaan manusia penumbuhnya yang hidup dan mempertukarkan hidupnya hanya sebatas data.(**)
Luxury, 131019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar