Minggu, 25 November 2018

Peternakan Robot

Seseorang yang telah menempuh pendidikan tinggi secara formal dapat disebut sebagai akademis. Dalam pengertian umum, akademisi ini orang yang selalu bersikap ilmiah, berlandaskan pada teori atau bahkan selalu merayakan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dapat dengan mudah ditelisik melalui giatnya kerja pikiran dalam konsep dialektika di mana tesis-tesis diperdebatkan. Situasi ini semestinya menjadi kemeriahan yang membanggakan. Pikiran aktif yang terus bekerja, tanpa mau diam pada kebenaran tunggal nan sementara itu merupakan ruh dari para akademisi. Pada tataran inilah kebebasan sejati manusia itu didapatkan. Rupanya, tataran itu sulit sekali dijangkau secara faktual meskipun instrumen untuk itu senantiasa ada dan nir-bayar, yaitu pikiran. Pada panggung kenyataan, sifat akademis ini lumpuh ditelikung kekuasaan. Ia tak lagi bisa bergerak leluasa menari di mega-mega gagasan, tak bisa bebas bersuara lantang di atas langit pemikiran. Akademisi sebagai penyelenggara pesta keberbedaan ini tunduk sedemikian rupa pada narasi tunggal yang tak lagi boleh dibantah. Pikiran-pikiran tak lagi bisa berguna di hadapan tesis yang perlu diragukan kebenarannya itu demi menjaga kebutuhan paling dasar manusia yaitu ketersediaan makanan. Menentang berarti lumbung pangan terancam. Menentang berarti kebertahanan hidup fisik terapuhkan. Meski semua itu sebenarnya hanya anggapan, namun karena keras berlakunya dengan paksaan, maka berubahlah anggapan itu menjadi seolah-olah satu-satunya kebenaran. Anggapan ini rupanya merebak, menyebar dengan pesat dan bertengger dalam kurun waktu lama bahkan di dunia di mana kemeriahan perbedaan pikiran itu musti dirayakan. Pada akhirnya, anggapan ini membudaya di pusat persemaian insan cendekia. Pusat-pusat ini dengan gilang-gemilang telah mengubah dirinya menjadi peternakan robot. Pengubahan yang diinisiasi penuh kebanggaan, meskipun untuk itu menghilangkan nilai dasar kemanusiaan. Pengubahan yang mengamini kebenaran tunggal untuk di-cekok-kan pada pemilik masa depan. Jadi, tidak ada salahnya jika kita dewasa ini mengucapkan selamat tinggal pada pikiran. (**)

Bali, 251118

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Allah.. bagaimana nasib kami, dimana saat ini kami masih usia SMA, dimana para dikma itu suatu kebenaran yang sebenarnya itu bukan yang sebenarnya.. tapi sebagian besar membenarkan, Karena ketakutan kita nggak bisa hidup, karena kita takut d lepas jabatan kita, kita takut di PHK,kita takut tidak mendapatkan teman, kita takut tidak punya lapangan jabatan,. Apa yang terjadi yaallahhh, . Kepada bapak Eko ompong yang Budiman, bantu aku untuk menjadikan sekelilingku, sahabatku, temanku, kerabatku bisa bangkit untuk mendobraknya. Tentu dengan aturan kaidah, norma yang saya anut. Saya yakin, sekecil apapun kebenaran itu akan menang. Itupun tidak bisa kami berdiri sendiri dengan proses yang panjang dan membutuhkan kesabaran. Terimakasih, sekilas pemikiran bapak Eko berikan,menggugah kami mempersiapkan untuk masa depan. Tapi sayangnya ilmu yang saya miliki masih dangkal. Man Jadda wa Jadda, jika ada kemauan, tentu Allah akan membuka jalan.
    Anak bangsa yang butuh dibina tapi jangan di binasakan.

    BalasHapus
  3. Saya belum mau pamit kepada pikiran, karena dialah yang memiliki kesetiaan terhadap perasaan dan raga saya; dialah yang membuat saya masih dapat bertahan menciptakan dan memberi makna kepada apa yang dinamakan "bahagia"...

    BalasHapus
  4. Kebahagiaan memang terletak di pikiran dan itulah satu-satunya tanda bahwa kita masih manusia.

    BalasHapus