Akademi tak pelak lagi telah dipercaya ribuan tahun sebagai pencetak individu berpengetahuan nan bijaksana. Ilmu pengetahuan pemaju kehidupan manusia dimulakan dan dimuliakan di sini. Orang-orang berbondong mencari rujukan kebijaksanaan atas segala macam soalan hidup yang dihadapi. Mereka datang tanpa takut akan terjadinya ketakberadilan atau ketakseimbangan pandangan. Semua orang percaya dengan kebenaran akademi yang tidak pernah berat sebelah atas satu masalah. Kebenaran akademi menjadi kebenaran sejati dan berlaku sama pada siapa saja dalam situasi dan kondisi tertentu yang juga sama. Kebenaran ini diperoleh melalui hasil uji tanpa melibatkan emosi. Bahkan, kebenaran selalu dipertanyakan atas relevansinya dengan kehidupan yang senantiasa terus berjalan. Ilmu pengetahuan di ruang-ruang akademi selalu mengalamai pengujian. Kebenaran di ruang-ruang academi selalu dicurigai untuk kemudian ditinjau, diukur, diuji kembali sehingga hasil terbenarlah yang dipublish untuk publik. Semua dilakukan tanpa emosi, semua dilakukan untuk mencari kebenaran sejati. Namun, ruang-ruang akademi yang selalu dijejali manusia itu tak bisa menampung DNA egois yang telah semenjak lahir menetap. Ruang akademi yang diciptakan manusia itupun luluh-lantak oleh ketidakkontrolan manusia atas perasaannya, atas praduga-praduganya. Bukan praduga atas kebenaran ilmu sayangnya, melainkan praduga atas manusia lain yang bekerja di ruang yang sama. Anehnya, manusia semacam ini yang semestinya menjadi klien akademi justru menempati ruang terhormat di akademi. Kebenaran untuk semua berubah menjadi kebenaran karena aku dan oleh karena itu milikku. Kebenaran kemudian dibuat mengkhianati dirinya sendiri dan berubah menjadi pembenaran. Pembenaran merajalela karena aku. Pembenaran menjadi wujud baru kebenaran penuh emosi di mana keakuan menjadi ukuran tunggal tak terbantahkan. Pada situasi yang demikian, akademi tidak lagi bersemayam dalam kebijaksanaan melainkan tinggal secara permanen di tengah belantara di mana yang kuat memakan yang lemah menjadi hukumnya. Akademi tidak lagi menjadi rujukan atas soalan, melainkan rimba persoalan yang justru saling mempersoalkan manusia di dalamnya yang jika tak tersadarkan akan berlangsung selamanya. Akademi pada situasi ini bukan lagi menjadi tempat insan mulia melainkan galeri fauna berwajah manusia. (**)
Singapore, 261118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar