Proses berpikir tingkat tinggi menjadi idola dalam dunia pendidikan dewasa ini. Ruang-ruang pertemuan dan pelatihan dipenuhi dengan wacana ini. Semua mengiyakan akan pentingnya proses berpikir tingkat tinggi bagi siswa, namun di saat yang sama kebingungan menerpa mereka menyangkut perihal, "bagaimana menerapkan atau mengajarkannya". Mula pertama yang perlu ditelisik adalah konsep dasar berpikir tingkat tinggi yang mungkin karena desakan waktu belum sepenuhnya tergali dan terpahami. Berikutnya adalah materi ajar yang diharuskan mengadopsinya terutama pada uraian aktivitas pembelajaran. Terakhir adalah penggunaan model pembelajaran serta cara penilaian yang tepat. Dari seluruh hiruk-pikuk ini, yang terlupakan adalah titik tolak untuk membangun kultur kembali. Proses berpikir tingkat tinggi atau menalar adalah kultur alamiah manusia. Untuk mempertahankan hidupnya, umat manusia mengoptimalisasi penalaran dalam memenuhi kebutuhan dasar di belantara dunia. Dari bentangan panjang sejarah inilah kemudian banyak penemuan bermunculan. Penemuan yang berguna bagi hidup manusia untuk mempertahankan eksistensinya di dunia. Dengan sejarah panjang ini semestinya penalaran bukanlah tamu asing yang perlu didekati dan dilayani karena ia ada dalam diri manusia sejak awal. Justru yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa "menalar" menjadi begitu penting dalam dunia pendidikan yang sudah semestinya menggunakan penalaran dalam setiap aktivitasnya? Seturut pemahaman dasar bahwa "menalar" merupakan tools utama manusia untuk survive, maka bisa ditarik simpulan kasar bahwa tools utama ini telah lama absen di ruang-ruang kelas. Mengapa itu bisa terjadi mungkin justru karena derasnya penemuan manusia hingga menyentuh hal-hal domestik dan pernik diri yang semakin detail sehingga manusia tidak perlu lagi berpikir mempertahankan hidup karena semuanya telah tersedia. Akan tetapi simpulan semacam itu bukanlah titik akhir mengingat sampai saat ini pun banyak temuan bermunculan untuk menopang kualitas hidup manusia. Apalagi ketika dikatakan bahwa "menalar" itu alami. Titik henti proses menalar ini bisa saja terjadi karena ketaktuntasan masa lalu manusia ketika masih anak-anak. Dalam masa emasnya, anak-anak selalu merayakan segala keingintahuan dengan jutaan tanya namun seringkali tak terjawab atau bahkan dihentikan paksa oleh manusia dewasa agar tidak selalu bertanya karena dianggap terlalu berisik dan mengganggu. Akhirnya setiap tanya yang muncul tak pernah tuntas terjawab atau terpancing untuk menjadi pertanyaan kualitatif berikutnya. Akhirnya ketaktuntasan aktivitas bertanya ana-anak ini terbentur pada tembok jawaban yang sama sekali jauh dari harapan. Bahkan hardikan orang dewasa agar anak-anak menghentikan pertanyaan karena berisik dan mengganggu melahirkan sikap lebih baik diam dan menerima keadaan. Sementara itu, proses menalar selalu dimulai dari pertanyaan. Dari pertanyaanlah manusia tumbuh dan berkembang hingga menguasai dunia. Ketika aktivitas bertanya ini dimatikan sejak anak-anak, bukan saja ketaktuntasan akan jawaban yang diperoleh melainkan berhentinya nalar berganti sikap berterima atas keadaan. Ketika kondisi ini berlaku terus-menerus, maka tidak dapat dihindari telah menjadi budaya. Jadi bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada orang-orang yang lahir dari budaya semacam ini ketika dihadapkan pada tuntutan untuk mengoptimalisasi kemampuan dengan proses berpikir tingkat tinggi. Ia senantiasa akan selalu mencari patron atau rujukan agar sikap berterimanya mendapatkan tempat. Sikap berterima yang tak lagi mempersoalkan aktivitas bertanya sebagai basis dari penalaran. Sikap berterima semacam ini selayaknya direposisi oleh aktivitas bertanya untuk membangun budaya menalar. Hanya dengan membudayakan "kehadiran aktivitas menalar di ruang-ruang kelas", apa yang disebut dengan berpikir tingkat tinggi dapat dicapai.(**)
Sta. Tugu Jogja, 180818
Sta. Tugu Jogja, 180818
Bagus...ini tinjauan tentang aktivitas bernalar dari salah satu sudut pandang...
BalasHapusUlasan ini sekaligus menunjukkan bahwa proses bernalar dan ber-HOTS itu adalah kegiatan alamiah manusia, yang dapat terjadi di mana saja, kapan saja, bahkan di ruang tunggu stasiun di antara deru sirene kereta api yang melengking menembus udara sore yang panas...