Kamis, 16 Agustus 2018

Tak Tahu Yang Bangga

Dewasa ini banyak terlihat orang berbangga diri atas betapa pentingnya tindakan yang ia lakukan berdasarkan posisi yang ia duduki. Orang-orang ini merasa telah berjuang dengan semestinya pada bidang yang digeluti. Orang-orang ini merasa telah berjasa karena apa yang ia lakukan akan dianut atau dianggap membawa manfaat bagi orang lain. Orang-orang ini tidak salah. Mereka memang menjalankan apa yang semestinya dilakukan. Namun demikian, mereka kurang atau tidak menyadari bahwa apa yang telah dikerjakan itu sesungguhnya belumlah memenuhi tuntutan banyak pihak atau para pengguna jasa. Kekurangsadaran atau justru ketidaksadaran mereka tidak berasal dari diri mereka sendiri melainkan dari kultur yang telah lama dibentuk. Kultur ini merayakan prestasi tidak berdasar pada kepuasan pengguna melainkan pada kepuasan owner atau orang yang berkuasa penentu jasa terguna. Kultur ini senang memberikan penghargaan semu kepada mereka yang bekerja untuk sang pemilik. Kultur ini adalah pencitraan yang menyorot permukaan untuk mengambil kesimpulan atas kondisi dalam, yang menyederhanakan persoalan melalui sampel-sampel pilihan, yang mendewakan data atas fakta yang terus dinamis berjalan, yang menyematkan pesona pada tulisan dan bukan lakuan. Akhirnya, penghargaan semu dianggap sebagai prestasi sesungguhnya, dianggap sebagai bentuk pengabdian total, dianggap sebagai panutan, dianggap sebagai penyelesai problema. Penghargaan semu ini kemudian selama berpuluh tahun melekat menjadi kenyataan yang mesti diterima dan diyakini. Kondisi yang telah membudaya ini membuat banyak orang bangga diri meski sejatinya tidak tahu untuk apa kebanggaan itu ada pada dirinya. (**)

Bandung, 16.08.18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar