Liyan (the other) menjadi istilah yang begitu gagah di dalam panggung estetika ketika disuarakan dalam narasi bertujuan. Bukan dalam rangka transfer pengetahuan melainkan dalam konteks hendak tampil gagah dengan bungkus intelektualitas. Atas dasar tujuan itulah "Liyan" dihadirkan. Dalam kehadiran ini, "Sang Liyan" adalah superioritas yang mampu mengubah cara pandang dunia. Mengubah dunia di mana "kita" ada di dalamnya. "Kita" dihadirkan dalam kerangka inferioritas yang menjadi korban atas desakan kemajuan hidup "Sang Liyan". Narasi ini menjadi aneh karena konsep pandang the other dan "kita" yang anomali. Sepanjang sejarah kelahirannya, "kita" adalah "liyan" bagi "mereka". Dengan demikian, keberadaan "kita" lah yang secara estetik mengganggu eksistensi "mereka". Satu pahaman mengenai hikayat keberadaan yang telah mencapai puncak spiritual. Oleh karena itu dominasi ketunggalan teryakinkan. Namun, dengan keberadaan "liyan" yang adalah "kita", maka keyakinan akan ketunggalan itu mengalami goncangan. Karena itu, "kita" yang oleh "mereka" dianggap sebagap "liyan" mesti ditaklukkan. Nah, dalam awal perjumpaannya, "mereka" tidak pernah "kita" anggap sebagai "liyan". Karena keberterimaan yang dahsyat inilah, "kita" tak menjadi sadar dengan seketika bahwa "mereka" telah menganggap "kita" sebagai "liyan" yang memiliki konsekuensi untuk ditaklukkan. Jadi, "liyan" itu bukan superioritas, bukan "mereka". "Liyan" adalah inferioritas, adalah "kita". Penghadiran "liyan" dalam sebuah narasi estetik semestinya tidak mengubah "kita" yang tidak pernah menganggap "mereka" sebagai "liyan" karena kita tidak pernah menggenggam semangat dendam penaklukan. "Kita" dalam hal ini menerima "mereka" apa adanya tanpa harus me-liyan-kan. (**)
lintasan pikiran atas narasi pertunjukan, TP Surabaya, 250818
Tidak ada komentar:
Posting Komentar