Di dalam banyak pertemuan agen-agen pendidikan,
konsepsi mengenai pendidikan memenuhi ruangan. Masing-masing dilontarkan untuk
memenuhi tuntutan perkembangan. Ada teori tentang kecerdasan, teori manajemen
kelas, teori tentang dimensi berpikir, teori menghadapi tantangan zaman, dan
banyak teori lainnya. Semua teori ini dikemukakan oleh para ahlinya. Semuanya
dibeberkan dengan fasih. Dari seluruh presentasi tergambar betapa hebatnya
teori-teori itu dan seolah-olah mudah pula penerapannya. Problematika
pendidikan dengan demikian telah dengan gemilang teratasi di forum-forum itu.
Ya, tidak ada yang sulit jika kita mau membuka dan mempelajari teori-teori yang
ada. Forum pun menjadi gegap gempita penuh tepuk suka, seolah-olah problema tak
lagi ada. Para pembicara hadir dan
pulang dengan gagah penuh senyum hangat. Peserta juga merasa puas hati
mendengarnya. Begitu forum selesai, hening menyapa masing-masing orang yang
kembali pada kesadarannya, hanya yang kembali sadar bukan yang tidak. Sebuah
kesadaran yang menyatakan bahwa pendidikan di forum-forum tadi telah
dibendakan. Teori-teori yang meruyak itu telah membendakan subjek pendidikan
yang seolah-olah tidak berubah selama teori-teori itu melayang-layang di
ruangan. Konsepsi-konsepsi itu belum sepenuhnya menyentuh praktika faktual di
mana subjek pendidikan adalah manusia yang hidup dan sama sekali tak bisa
dibendakan. Subjek pendidikan yang adalah manusia inilah yang telah memusingkan
para ahli humaniora mengenai objektivitas ilmu sosial karena dinamika perubahan
pikir dan jiwa sang subjek yang abadi sehingga setiap penelitian tentangnya
selalu berbatas waktu dan menyisakan margin
of errors. Sayangnya, forum pendidikan terlalu angkuh untuk menyatakan hal
ini sehingga kalkulasinya selalu dibuat matematis dan seolah-olah tidak ada
unsur jiwa yang terlibat di dalamnya. Atau mungkin mereka telah dengan sengaja
membendakan subjek karena tak kuasa menandingi dinamikanya sehingga perlu
membuat benteng agar kebenaran yang sebenarnya perlu dipertanyakan itu kokoh
berdiri. Benteng yang dibangun dengan bahasa teoretis nan tinggi,
melingkar-lingkar penuh logical twist
sehingga memaksa semua yang hadir untuk merasa malu jika tak sanggup memahaminya.
Akibatnya, semua harus bermain peran untuk saling memahami sehingga forum telah
berubah menjadi pentas sandiwara. Pada akhirnya, konsepsi di ruang itu tak
pernah secara penuh menemukan praktikanya. Pun demikian, tidak pernah pula
secara penuh konsepsi itu dibangun berdasar praktika. (**)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar