Sabtu, 21 Juli 2018

Konsepsi dan Praktika

Di dalam banyak pertemuan agen-agen pendidikan, konsepsi mengenai pendidikan memenuhi ruangan. Masing-masing dilontarkan untuk memenuhi tuntutan perkembangan. Ada teori tentang kecerdasan, teori manajemen kelas, teori tentang dimensi berpikir, teori menghadapi tantangan zaman, dan banyak teori lainnya. Semua teori ini dikemukakan oleh para ahlinya. Semuanya dibeberkan dengan fasih. Dari seluruh presentasi tergambar betapa hebatnya teori-teori itu dan seolah-olah mudah pula penerapannya. Problematika pendidikan dengan demikian telah dengan gemilang teratasi di forum-forum itu. Ya, tidak ada yang sulit jika kita mau membuka dan mempelajari teori-teori yang ada. Forum pun menjadi gegap gempita penuh tepuk suka, seolah-olah problema tak lagi ada.  Para pembicara hadir dan pulang dengan gagah penuh senyum hangat. Peserta juga merasa puas hati mendengarnya. Begitu forum selesai, hening menyapa masing-masing orang yang kembali pada kesadarannya, hanya yang kembali sadar bukan yang tidak. Sebuah kesadaran yang menyatakan bahwa pendidikan di forum-forum tadi telah dibendakan. Teori-teori yang meruyak itu telah membendakan subjek pendidikan yang seolah-olah tidak berubah selama teori-teori itu melayang-layang di ruangan. Konsepsi-konsepsi itu belum sepenuhnya menyentuh praktika faktual di mana subjek pendidikan adalah manusia yang hidup dan sama sekali tak bisa dibendakan. Subjek pendidikan yang adalah manusia inilah yang telah memusingkan para ahli humaniora mengenai objektivitas ilmu sosial karena dinamika perubahan pikir dan jiwa sang subjek yang abadi sehingga setiap penelitian tentangnya selalu berbatas waktu dan menyisakan margin of errors. Sayangnya, forum pendidikan terlalu angkuh untuk menyatakan hal ini sehingga kalkulasinya selalu dibuat matematis dan seolah-olah tidak ada unsur jiwa yang terlibat di dalamnya. Atau mungkin mereka telah dengan sengaja membendakan subjek karena tak kuasa menandingi dinamikanya sehingga perlu membuat benteng agar kebenaran yang sebenarnya perlu dipertanyakan itu kokoh berdiri. Benteng yang dibangun dengan bahasa teoretis nan tinggi, melingkar-lingkar penuh logical twist sehingga memaksa semua yang hadir untuk merasa malu jika tak sanggup memahaminya. Akibatnya, semua harus bermain peran untuk saling memahami sehingga forum telah berubah menjadi pentas sandiwara. Pada akhirnya, konsepsi di ruang itu tak pernah secara penuh menemukan praktikanya. Pun demikian, tidak pernah pula secara penuh konsepsi itu dibangun berdasar praktika. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar