Sampai hari ini kiranya masih banyak orang yang beranggapan bahwa media dan sarana untuk belajar hanyalah sekolah. Setelah selesai bersekolah, maka sudah tidak perlu lagi belajar karena kegiatan berikutnya adalah menerapkan ilmu yang telah didapatkan. Penerapan ilmu ini lebih banyak melalui dunia kerja di mana hanya sedikit dari ilmu yang didapatkan selama sekolah yang diterapkan. Tapi si pekerja sudah terlanjur bangga dengan hal ini dan merasa memang tidaklah perlu lagi untuk belajar, toh ia sudah bekerja dan dapat membangun hidupnya. Tanpa disadari bahwa keberlangsungan pekerjaan dan tuntutan hidup kadang tidak berbanding lurus, di mana tuntutan atau kebutuhan hidup lebih deras dan tak tercukupi hanya dengan hasil kerja. Sampai di sini si pekerja mulai memutar otak namun hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup tadi, sementara pekerjaannya tetap. Ya, ia memang kemudian belajar. Namun belajar hanya untuk menemukan cara memenuhi kebutuhan. Ia tak lagi bisa membentangkan luas pikirannya karena telah puluhan tahun ruang otak dipersempit oleh pekerjaan dan tuntutan hidup. Karena selama itu pula ia merasa telah cukup belajar di sekolah dan telah mendapat pekerjaan. Akhirnya, ketersempitan pola pikir ini membudaya dalam dirinya. Bahkan di lingkup pekerjaan yang terkait dengan sekolah pun terjadi hal yang demikian. Pengajar merasa sudah cukup belajar dan pekerjaannya kemudian hanyalah mengajar. Ia menjadi lupa bahwa apa-apa yang ia ajarkan tidaklah tetap, namun selalu berkembang. Tetapi karena ia merasa telah cukup belajar sejak selesai sekolah, maka ia tak lagi perlu lagi belajar. Ia pun tak perlu memahami bahwa apa yang diajarkan telah banyak berkembang. Ia tak ada bedanya kemudian dengan pekerja. Keberlangsungan kondisi semacam ini yang telah menahun membuatnya tak sadar bahwa untuk mengajar ia senantiasa harus belajar. (**)
Klidon, 10-10-17
Klidon, 10-10-17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar