Sabtu, 09 September 2017

Sekolah Tinggi dan Kompetensi

Baru-baru ini muncul pernyataan dari Menristekdikti dan beberapa tokoh pemerhati pendidikan bahwa untuk menjadi dosen tidak lagi harus lulusan S2 asalkan kompeten. Pendapat ini dilatari bahwa banyak orang yang kompeten di bidangnya namun tidak memiliki gelar akademis, sementara tidak sedikit yang memiliki gelar Master namun kurang bisa menunjukkan kualitasnya. Kata "kualitas" ini pun banyak disurakan oleh para tokoh. Secara umum ini berarti bahwa lulusan S2 belumlah tentu berkualitas. Jika memang demikian mengapa seseorang perlu sekolah sampai taraf S2? Bukankah segala hal terkait kompetensi itu dapat dilalui secara didaktik-metodik melalui sekolah? Kompetensi yang dapat dimaknai sebagai seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dikuasai, dan diaktualisasikan inilah yang diajarkan di sekolah. Kemampuan dalam bentuk pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill) dan sikap (afektif) selalu menjadi narasi utama dunia pendidikan bahkan dapat dikatakan sebagai bangunan dasar konsep pendidikan. 

Jika hal yang telah menguratakar dan dihayati puluhan tahun ini sampai menghasilkan pribadi yang "tidak berkualitas" atau "tidak menunjukkan kompetensi", maka dapat diduga terdapat persolan serius di dalamnya? Apakah itu soal cara belajar-mengajar, rekruitmen pengajar dan peserta didik, manajemen pendidikan ataukah memang telah terjadi dua jalan besar yang saling tidak bertemu antara ilmu yang diajarkan dan kebutuhan nyata dalam kehidupan? Pernyataan para tokoh pendidikan di atas menjadi "warning" bagi dunia persekolahan. Apalagi dalam pelaksanaannya sekolah mulai jenjang dasar sampai tinggi diatur sedemikian rupa dalam bentuk akreditasi yang rumit. Lalu mengapa pula aturan itu seolah tidak menunjukkan kedigdayaannya sehingga menghasilkan keluaran yang tidak berkuaitas baik? Sekolah dengan demikian tidaklah menjamin kompetensi seseorang. Orang bersekolah tinggi untuk meraih kompetensi, namun setelah selesai atau dinyatakan lulus, kompetensi yang ia miliki dipertanyakan atau bahkan tidak dipercaya. Satu anomali yang terjadi di perguruan tinggi. Dunia akademik seperti diketahui adalah dunia pemegang teguh kebenaran atas nama ilmu pengetahuan. Akan tetapi nampaknya hal itu telah mengalami degradasi menilik pernyataan pak menteri dan para pemerhati pendidikan. Jika tidak lagi berpegang teguh pada kebenaran ilmu pengetahuan lalu pada kebenaran apakah perguruan tinggi selama ini dijalankan? (**)

Domas, 09-09-17

Tidak ada komentar:

Posting Komentar