Sarjana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang pandai atau ahli
ilmu pengetahuan. Untuk mencapai tingkat ini seseorang diharuskan menempuh
studi yang tidak mudah. Hal tersebut dikarenakan sebagai ahli ilmu pengetahuan,
pada nantinya seorang sarjana harus mempertanggungjawabkan soalan-soalan hidup
sekitar ilmu yang ia kuasai. Segala apa yang ia ucapkan dan lakukan serba
terukur serta sahih sesuai dasar ilmu yang dimiliki. Belum lagi ketika dihadapkan
kenyataan bahwa ilmu pengetahuan senantiasa berkembang, maka ia mau tidak mau
harus mengupdate keilmuannya. Kerja pemikiran seorang sarjana dilandasi oleh
keraguan yang mengarahkannya pada langkah riset untuk menemukan pembuktian atas
apa yang diragukan tersebut. Bahkan ketika keraguan telah terjawab, ia tidak
kemudian diam di tempat dan selesai. Akan muncul keraguan baru atas jawaban
yang ada dan hal ini pun memerlukan pembuktian baru melalui tindak penelitian.
Demikian seterusnya karena memang demikian pula dialektika ilmu pengetahuan
berhadap kenyataan.
Jadi sangat tidak mengherankan ketika tidak sembarang orang bisa menempuh
pendidikan kesarjanaan. Kemampuan pikiran dan dedikasi tindakan atas pikiran
yang terus menerus itu belum tentu dimiliki oleh setiap orang. Bahkan banyak
orang hidup di dunia ini yang cukup memerlukan satu atau sepaket kompetensi
dalam menjalankan hidupnya. Ia tak perlu risau dan ikut-ikutan ragu atas
fenomena kehidupan yang serba baru. Ia cukup menjalani kehidupan dengan
kemampuan yang dimiliki. Untuk menampung kencenderungan semacam ini
disediakanlah apa yang disebut dengan pendidikan vokasi. Pola pendidikan yang
berupa rangkaian kursus untuk mencapai kompetensi tertentu dan dapat digunakan
dalam kehidupan sebagai sebuah pekerjaan. Karena mengacu pada pekerjaan, maka pendidikan
vokasional bersandar pada hal-hal yang bersifat formatif. Penamaan dan
penjenjangan pendidikannyapun berbeda dengan sarjana. Tingkat tertinggi
pendidikan vokasi adalah Diploma (D) IV yang setara hanya dengan level terendah
dengan pendidikan kesarjanaan yaitu S-1. Dari hal ini sudah tergambarkan betapa
khususnya orang yang disebut dengan sarjana itu.
Namun dalam kenyataan, sarjana yang seharusnya hidup dengan dedikasi
keilmuannya itu mengambil tempat yang seharusnya menjadi milik kaum vokasi. Mereka
tidak bekerja berbasis keraguan dan tindak penelitian namun pada bentuk,
ukuran, dan waktu yang disediakan. Mereka lebih suka dengan demikian
menempatkan dirinya sebagai objek dan bukan subjek. Kegairahan akan pencerahan
dan capaian kualitatif atas ilmu yang dimiliki terkubur jauh ke dalam kuantitas
yang dangkal dan prestasi semu akan kepemilikan non-ilmu. Jadi tidaklah mengherankan
ketika terdapati kenyataan bahwa banyaknya jumlah sarjana tidak mempengaruhi
banyaknya tulisan ilmiah yang ada. Banyaknya sarjana tidak membawa pengaruh
pada banyaknya tindak penelitian yang lahir atas keraguan akan fenomena hidup.
Banyaknya jumlah sarjana ternyata hanya mengisi lowongan vokasi sehingga pola
hidupnya formatif. Kerja pikirannya terdegradasi secara drastis ke dalam format
yang diciptakan oleh orang lain. Nalar kritisnya mandeg karena hanya sekedar mengikut
kesesuaian bentuk dan ukuran yang ada. Bahkan tragisnya, prestasi para sarjana
yang bekerja ini pun banyak ditentukan oleh asas kesesuaian bentuk dan ukuran
serta rentang waktu yang disediakan. Konten menjadi tak penting. Konten menjadi
asing. Konten membutuhkan kerja pikiran yang dilandasi prinsip keraguan serta
tindak penelitian yang mana telah mereka lupakan bertahun-tahun semenjak
kesarjanaan mereka berubah vokasional. Tapi anehnya, mereka tetap jumawa merasa
sebagai sarjana tanpa menyadari bahwa ilmu yang dulu ada pada dirinya telah
berubah menjadi batu.
Kuala Lumpur, 29 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar