Kamis, 29 Juni 2017

Sarjana Vokasional


Sarjana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang pandai atau ahli ilmu pengetahuan. Untuk mencapai tingkat ini seseorang diharuskan menempuh studi yang tidak mudah. Hal tersebut dikarenakan sebagai ahli ilmu pengetahuan, pada nantinya seorang sarjana harus mempertanggungjawabkan soalan-soalan hidup sekitar ilmu yang ia kuasai. Segala apa yang ia ucapkan dan lakukan serba terukur serta sahih sesuai dasar ilmu yang dimiliki. Belum lagi ketika dihadapkan kenyataan bahwa ilmu pengetahuan senantiasa berkembang, maka ia mau tidak mau harus mengupdate keilmuannya. Kerja pemikiran seorang sarjana dilandasi oleh keraguan yang mengarahkannya pada langkah riset untuk menemukan pembuktian atas apa yang diragukan tersebut. Bahkan ketika keraguan telah terjawab, ia tidak kemudian diam di tempat dan selesai. Akan muncul keraguan baru atas jawaban yang ada dan hal ini pun memerlukan pembuktian baru melalui tindak penelitian. Demikian seterusnya karena memang demikian pula dialektika ilmu pengetahuan berhadap kenyataan.

Jadi sangat tidak mengherankan ketika tidak sembarang orang bisa menempuh pendidikan kesarjanaan. Kemampuan pikiran dan dedikasi tindakan atas pikiran yang terus menerus itu belum tentu dimiliki oleh setiap orang. Bahkan banyak orang hidup di dunia ini yang cukup memerlukan satu atau sepaket kompetensi dalam menjalankan hidupnya. Ia tak perlu risau dan ikut-ikutan ragu atas fenomena kehidupan yang serba baru. Ia cukup menjalani kehidupan dengan kemampuan yang dimiliki. Untuk menampung kencenderungan semacam ini disediakanlah apa yang disebut dengan pendidikan vokasi. Pola pendidikan yang berupa rangkaian kursus untuk mencapai kompetensi tertentu dan dapat digunakan dalam kehidupan sebagai sebuah pekerjaan.  Karena mengacu pada pekerjaan, maka pendidikan vokasional bersandar pada hal-hal yang bersifat formatif. Penamaan dan penjenjangan pendidikannyapun berbeda dengan sarjana. Tingkat tertinggi pendidikan vokasi adalah Diploma (D) IV yang setara hanya dengan level terendah dengan pendidikan kesarjanaan yaitu S-1. Dari hal ini sudah tergambarkan betapa khususnya orang yang disebut dengan sarjana itu.

Namun dalam kenyataan, sarjana yang seharusnya hidup dengan dedikasi keilmuannya itu mengambil tempat yang seharusnya menjadi milik kaum vokasi. Mereka tidak bekerja berbasis keraguan dan tindak penelitian namun pada bentuk, ukuran, dan waktu yang disediakan. Mereka lebih suka dengan demikian menempatkan dirinya sebagai objek dan bukan subjek. Kegairahan akan pencerahan dan capaian kualitatif atas ilmu yang dimiliki terkubur jauh ke dalam kuantitas yang dangkal dan prestasi semu akan kepemilikan non-ilmu. Jadi tidaklah mengherankan ketika terdapati kenyataan bahwa banyaknya jumlah sarjana tidak mempengaruhi banyaknya tulisan ilmiah yang ada. Banyaknya sarjana tidak membawa pengaruh pada banyaknya tindak penelitian yang lahir atas keraguan akan fenomena hidup. Banyaknya jumlah sarjana ternyata hanya mengisi lowongan vokasi sehingga pola hidupnya formatif. Kerja pikirannya terdegradasi secara drastis ke dalam format yang diciptakan oleh orang lain. Nalar kritisnya mandeg karena hanya sekedar mengikut kesesuaian bentuk dan ukuran yang ada. Bahkan tragisnya, prestasi para sarjana yang bekerja ini pun banyak ditentukan oleh asas kesesuaian bentuk dan ukuran serta rentang waktu yang disediakan. Konten menjadi tak penting. Konten menjadi asing. Konten membutuhkan kerja pikiran yang dilandasi prinsip keraguan serta tindak penelitian yang mana telah mereka lupakan bertahun-tahun semenjak kesarjanaan mereka berubah vokasional. Tapi anehnya, mereka tetap jumawa merasa sebagai sarjana tanpa menyadari bahwa ilmu yang dulu ada pada dirinya telah berubah menjadi batu.


Kuala Lumpur, 29 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar