Berkunjung ke pasar tradisional merupakan keasyikan tersendiri. Bentuk
bangunan dan penataan lapak yang unik serta keramah-tamahan antarmanusia
merupakan hidangan wajib yang tentunya menyehatkan jiwa. Berbeda dengan mall
yang terkesan mewah sekaligus angkuh dan robotik. Barang jualan di pasar
tradisional yang tersebar beraneka ragam itu jika dicermati secara harga
sangatlah mengagumkan. Label harga yang terlisankan oleh penjual atau ditulis
sekadarnya itu membuat terperangah ketika dibandingkan dengan harga jualan di
mall untuk benda yang sama. Pun begitu, masih boleh pula kita menawar dan
mengumbar senyum renyah agar harga diturunkan. Sementara di mall, kita membisu
pun tidak apa-apa selama mampu membayar sesuai harga tertera.
Atas berbagai hal tersebut, menjadi pertanyaan mendasar kemudian adalah
apakah sesungguhnya mall diperlukan ketika hampir semua barang kebutuhan hidup
dapat dijumpai di pasar tradisional? Bagi penduduk kota besar mungkin mall
sangat diperlukan karena bergengsi. Saya menyebut “bergengsi” karena semua
syarat mall selain gengsi dapat ditemukan di pasar. Sementara untuk memenuhi
unsur “gengsi” dalam hidup kita hanya akan mendapatinya dalam kebutuhan tersier
atau kuartier. Artinya, kebutuhan semacam ini tidak diperlukan bagi sebagian
besar orang. Namun toh begitu, gengsi adalah jualan yang tak kasatmata dan
selalu dibutuhkan manusia. Karena adanya tesis semacam ini, maka penetrasi mall
semakin menjadi dan mulai merambah pada kebutuhan hidup yang primer dan sekunder.
Dalam kenyataan tesis tersebut tidaklah salah.
Gengsi adalah iming-iming yang berasal dari luar diri berbasis pengakuan
yang lucunya diciptakan oleh diri sendiri. Artinya, orang memakai pakaian mahal
karena dia sendirilah yang beranggapan bahwa orang lain akan menganggapnya
bergengsi. Apakah benar demikian anggapan orang lain? Dalam laut dapat diduga
dalam hati siapa tahu. Untuk dapat menduga dalam hati itulah, mall beserta
barang dagangannya masuk ke dalam kehidupan harian seseorang melalui iklan.
Nah, akhirnya kata “gengsi” itu kemudian didapatkan karena “menurut iklan”. Dan
iklan selalu saja menemukan formula rayuan dengan menggunakan model, tokoh atau
ahli tertentu untuk menebar “gengsi” kepemilikan. Tapi, apakah setelah gengsi
didapat lantas kemudian perilaku hidup juga bergengsi? Ah, sepertinya tetap
saja jauh panggang dari api. Tetap saja kita jumpai sampah berserakan di jalan,
tempat wisata, kendaraan umum atau bahkan dibuang begitu saja dari jendela
mobil mewah yang semua pelakunya suka membeli gengsi di mall itu. Padahal, para
pembelanja gengsi itu sering ogah ke pasar karena salah satu alasannya adalah
kebersihan.
Jadi jika tidak ada unsur “gengsi”, keberadaan pasar tradisional sudahlah
sangat mencukupi. Justru di pasar inilah nilai kemanusiaan itu berada. Kita
bisa berdialog dengan pedagang bahkan untuk hal-hal di luar urusan dagang. Kita
bisa melihat rupa-rupa macam manusia di dalamnya (tidak semuanya berdandan
seperti di mall). Kita bisa tawar-menawar, menguji kecakapan dalam merayu,
simpati atau empati. Di pasar tradisional pula kita bisa melihat tawa renyah
antara pedagang, pelayan dan pembeli atau bahkan intensi emosi nan manusiawi.
Kita bisa pula menyaksikan antara para pedagang berkisah, berceloteh, dan
berlisan yang lain saat kita sedang melihat barang jualan. Di mana pada saat
yang sama mall hanya menawarkan kelengangan suara manusia karena timpahan
ilustrasi musik di hampir setiap gerai. Mall tidak pernah menyajikan cerita
hangat antara penjual dan penjual atau penjual dan pembeli di luar urusan
jual-beli. Mall cenderung gagah, mewah, namun sepi. Sementara pasar tradisional
lebih riuh, sederhana namun manusiawi. Jika rasa gengsi manusia senyata nilai kemanusiaannya,
maka mall tak ada bandingannya dengan pasar tradisional. Pasar menyediakan
kebutuhan hidup, sementara mall melahirkannya.
Vientianne, 28 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar