Kamis, 29 Juni 2017

Pasar dan Mall

Berkunjung ke pasar tradisional merupakan keasyikan tersendiri. Bentuk bangunan dan penataan lapak yang unik serta keramah-tamahan antarmanusia merupakan hidangan wajib yang tentunya menyehatkan jiwa. Berbeda dengan mall yang terkesan mewah sekaligus angkuh dan robotik. Barang jualan di pasar tradisional yang tersebar beraneka ragam itu jika dicermati secara harga sangatlah mengagumkan. Label harga yang terlisankan oleh penjual atau ditulis sekadarnya itu membuat terperangah ketika dibandingkan dengan harga jualan di mall untuk benda yang sama. Pun begitu, masih boleh pula kita menawar dan mengumbar senyum renyah agar harga diturunkan. Sementara di mall, kita membisu pun tidak apa-apa selama mampu membayar sesuai harga tertera.


Atas berbagai hal tersebut, menjadi pertanyaan mendasar kemudian adalah apakah sesungguhnya mall diperlukan ketika hampir semua barang kebutuhan hidup dapat dijumpai di pasar tradisional? Bagi penduduk kota besar mungkin mall sangat diperlukan karena bergengsi. Saya menyebut “bergengsi” karena semua syarat mall selain gengsi dapat ditemukan di pasar. Sementara untuk memenuhi unsur “gengsi” dalam hidup kita hanya akan mendapatinya dalam kebutuhan tersier atau kuartier. Artinya, kebutuhan semacam ini tidak diperlukan bagi sebagian besar orang. Namun toh begitu, gengsi adalah jualan yang tak kasatmata dan selalu dibutuhkan manusia. Karena adanya tesis semacam ini, maka penetrasi mall semakin menjadi dan mulai merambah pada kebutuhan hidup yang primer dan sekunder. Dalam kenyataan tesis tersebut tidaklah salah.

Gengsi adalah iming-iming yang berasal dari luar diri berbasis pengakuan yang lucunya diciptakan oleh diri sendiri. Artinya, orang memakai pakaian mahal karena dia sendirilah yang beranggapan bahwa orang lain akan menganggapnya bergengsi. Apakah benar demikian anggapan orang lain? Dalam laut dapat diduga dalam hati siapa tahu. Untuk dapat menduga dalam hati itulah, mall beserta barang dagangannya masuk ke dalam kehidupan harian seseorang melalui iklan. Nah, akhirnya kata “gengsi” itu kemudian didapatkan karena “menurut iklan”. Dan iklan selalu saja menemukan formula rayuan dengan menggunakan model, tokoh atau ahli tertentu untuk menebar “gengsi” kepemilikan. Tapi, apakah setelah gengsi didapat lantas kemudian perilaku hidup juga bergengsi? Ah, sepertinya tetap saja jauh panggang dari api. Tetap saja kita jumpai sampah berserakan di jalan, tempat wisata, kendaraan umum atau bahkan dibuang begitu saja dari jendela mobil mewah yang semua pelakunya suka membeli gengsi di mall itu. Padahal, para pembelanja gengsi itu sering ogah ke pasar karena salah satu alasannya adalah kebersihan.

Jadi jika tidak ada unsur “gengsi”, keberadaan pasar tradisional sudahlah sangat mencukupi. Justru di pasar inilah nilai kemanusiaan itu berada. Kita bisa berdialog dengan pedagang bahkan untuk hal-hal di luar urusan dagang. Kita bisa melihat rupa-rupa macam manusia di dalamnya (tidak semuanya berdandan seperti di mall). Kita bisa tawar-menawar, menguji kecakapan dalam merayu, simpati atau empati. Di pasar tradisional pula kita bisa melihat tawa renyah antara pedagang, pelayan dan pembeli atau bahkan intensi emosi nan manusiawi. Kita bisa pula menyaksikan antara para pedagang berkisah, berceloteh, dan berlisan yang lain saat kita sedang melihat barang jualan. Di mana pada saat yang sama mall hanya menawarkan kelengangan suara manusia karena timpahan ilustrasi musik di hampir setiap gerai. Mall tidak pernah menyajikan cerita hangat antara penjual dan penjual atau penjual dan pembeli di luar urusan jual-beli. Mall cenderung gagah, mewah, namun sepi. Sementara pasar tradisional lebih riuh, sederhana namun manusiawi. Jika rasa gengsi manusia senyata nilai kemanusiaannya, maka mall tak ada bandingannya dengan pasar tradisional. Pasar menyediakan kebutuhan hidup, sementara mall melahirkannya.


Vientianne, 28 Juni 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar