Kamis, 01 September 2016

Sabar dan Waktu



Sekumpulan orang suci berdiri antre menunggu transportasi publik yang terkenal padat penumpang. Setiap lima menit kendaraan transportasi itu datang dan selalu penuh penumpang serta terkadang hanya sedikit yang turun di pemberhentian tersebut. Sekumpulan orang suci itu nampak bersabar dan memberikan kesempatan pada penumpang lain terlebih dulu. Mereka pun tak lepas dari wajah senyum, teduh sekali. Satu kali, dua kali, mereka selalu mendahulukan orang lain.

Namun demi melihat bahwa antrean penumpang tak juga berkurang dan justru terus bertambah, maka wajah senyum mereka mulai berubah. Pada kali keempat mereka mulai saling bersepakat dengan anggukan kepala. Tepat pada saat kendaraan transportasi berikut datang, langsung saja mereka menyeruduk masuk dengan tanpa memberi kesempatan bagi yang lain. Semua dari mereka berhasil masuk dengan gilang-gemilang.

Rupanya, orang suci yang sering dikata sabar itu bisa pula habis rasa sabarnya. Mungkin orang-orang akan heran demi melihat laku mereka saat itu. Namun jikalau mereka harus selalu memberi kesempatan pada yang lain, kesempatan bagi mereka tidak akan pernah datang.

Mereka bisa saja sabar menunggu. Tetapi kehidupan – yang diukur dengan skala waktu – tak pernah bisa menunggu. Waktu selalu akan bergerak maju. Dan mereka akan senantiasa menjadi masa lalu jika harus terus menunggu. Logika perjalanan waktu inilah yang memaklumkan laku sekumpulan orang suci itu. Sebagai manusia, mereka bisa saja terus bersabar. Tetapi sebagai manusia yang berada dalam kuasa waktu, kesabaran itu sangatlah berbatas.

Lalu apakah dengan menalar kuasa waktu lantas kesabaran bisa dikalahkan? Jika pun tidak, ketidaksabaran yang ditunjukkan oleh sekumpulan orang suci itu pun masih berupa kewajaran dan harus dipahami.

Sekumpulan orang suci itu adalah manusia yang tidak pernah berada dalam posisi atau peran statis seperti halnya malaikat atau setan. Jelaslah dengan demikian, jika kita mengharap bahwa kesabaran tiada batas harus selalu berada dalam diri orang-orang suci, maka kita telah meniadakan manusia dalam diri mereka. Dan itu adalah kekejaman. Sebab bagaimana pun juga, mereka masihlah manusia.

Eko Ompong, Kuala Lumpur, 22 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar