Sekumpulan orang suci berdiri antre menunggu transportasi
publik yang terkenal padat penumpang. Setiap lima menit kendaraan transportasi
itu datang dan selalu penuh penumpang serta terkadang hanya sedikit yang turun
di pemberhentian tersebut. Sekumpulan orang suci itu nampak bersabar dan
memberikan kesempatan pada penumpang lain terlebih dulu. Mereka pun tak lepas
dari wajah senyum, teduh sekali. Satu kali, dua kali, mereka selalu
mendahulukan orang lain.
Namun demi melihat bahwa antrean penumpang tak juga
berkurang dan justru terus bertambah, maka wajah senyum mereka mulai berubah.
Pada kali keempat mereka mulai saling bersepakat dengan anggukan kepala. Tepat
pada saat kendaraan transportasi berikut datang, langsung saja mereka
menyeruduk masuk dengan tanpa memberi kesempatan bagi yang lain. Semua dari
mereka berhasil masuk dengan gilang-gemilang.
Rupanya, orang
suci yang sering dikata sabar itu bisa pula habis rasa sabarnya. Mungkin
orang-orang akan heran demi melihat laku mereka saat itu. Namun jikalau mereka
harus selalu memberi kesempatan pada yang lain, kesempatan bagi mereka tidak
akan pernah datang.
Mereka bisa saja
sabar menunggu. Tetapi kehidupan – yang diukur dengan skala waktu – tak pernah
bisa menunggu. Waktu selalu akan bergerak maju. Dan mereka akan senantiasa
menjadi masa lalu jika harus terus menunggu. Logika perjalanan waktu inilah
yang memaklumkan laku sekumpulan orang suci itu. Sebagai manusia, mereka bisa
saja terus bersabar. Tetapi sebagai manusia yang berada dalam kuasa waktu, kesabaran
itu sangatlah berbatas.
Lalu apakah
dengan menalar kuasa waktu lantas kesabaran bisa dikalahkan? Jika pun tidak,
ketidaksabaran yang ditunjukkan oleh sekumpulan orang suci itu pun masih berupa
kewajaran dan harus dipahami.
Sekumpulan orang
suci itu adalah manusia yang tidak pernah berada dalam posisi atau peran statis
seperti halnya malaikat atau setan. Jelaslah dengan demikian, jika kita
mengharap bahwa kesabaran tiada batas harus selalu berada dalam diri
orang-orang suci, maka kita telah meniadakan manusia dalam diri mereka. Dan itu
adalah kekejaman. Sebab bagaimana pun juga, mereka masihlah manusia.
Eko Ompong, Kuala Lumpur, 22 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar