Dalam catatan kejahatan konvensional, seorang yang dicap
sebagai panjahat pastilah berpenampilan tak pantas, berperilaku buruk, dan
berpendidikan rendah. Rendahnya kualitas ketiga aspek ini menggambarkan aksi
yang kasar dan tanpa berpikir panjang demi memeroleh hasil yang diinginkan.
Dalam buku-buku, komik atau film standar baku, karakter tokoh setiap penjahat
itu pasti digambarkan dengan tawa terbahak-bahak, omongan tanpa tata krama,
strategi culas dan kurang hati-hati atau bodoh. Semua jenis penjahat
digambarkan semacam itu, persis seperti definisi karakter antagonis dalam lakon
drama konvensional. Namun orang-orang tidak perlu cemas karena sehebat apapun
penjahat itu pasti akan kalah atau tertangkap atau terbunuh karena
kebodohannya. Pemahaman seperti itu sudah mengurat akar sehingga penanganan
penjahat terkadang diserahkan pada sang waktu, yang intinya, jika waktunya
telah sampai pastilah penjahat itu akan tertangkap karena kebodohannya.
Atas penilaian
sepihak yang sangat merugikan kompetensi kognitif itu, para penjahat modern
meningkatkan kualitas kepandaian pikir dirinya secara penuh gelora. Penjahat
bodoh itu hanya ada di dalam buku, komik, dan film masa lalu – dan itu sama
sekali tidak berkelas. Dengan semangat revolusioner, para penjahat modern dan
berkelas ini mengadakan studi mendalam sebelum melakukan aksinya. Semua aspek
yang melingkupi tindak dan celah – yang dapat menghambat serta melemahkan
penghilangan jejak – dipelajari sedemikian rupa, sehingga semua berjalan dengan bersih, tanpa ada curiga, dan
benar-benar cerdas. Ini berarti, sebelum perbuatan jahat dilakukan, penampilan
penuh kualitas ini menjadi syarat utama.
Dengan usaha
keras ini, si penjahat – jauh
sebelum beraksi – berhasil menaikkan kelas dirinya melampaui kelas-kelas
masyarakat lain. Bahkan sampai pada taraf kekuasaan yang sangat sulit untuk
disentuh. Strategi penuh liku itu telah dirancangnya sampai hal-hal mendetil.
Simulasi ia buat sehingga celah-celah kecil yang mungkin muncul dapat ditutupi.
Benteng berlapis dibangun dengan membentuk pasukan pembela yang militan yang
telah dicekoki dogma halusinatif tentang kebaikan si calon tokoh jahat ini. Si
benteng tidak tahu kalau sebenarnya ia hanyalah calon-calon yang akan
dikorbankan jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan – semisal niatan jahat
itu ketahuan atau tindak jahatnya tertangkap tangan.
Dan benar saja,
ketika kebenaran mulai terungkap, benteng tokoh jahat ini berkoar dan berpamer
otot membela sepenuh daya. Segala tudingan jahat mereka tampik dengan jawaban
mantap, bahwa si tokoh jahat yang ia bela adalah orang baik yang menjadi korban
sistem, orang baik yang digunakan elemen kekuasaan, orang baik yang dijahati,
dan seterusnya dan seterusnya. Intinya adalah para benteng itu tetap menganggap
bahwa si tokoh jahat adalah orang pandai dan baik hati. Adalah hal biasa
pembelaan yang terjadi. Yang menjadi tidak biasa adalah si pembela itu
sebenaranya adalah kelas masyarakat yang menganggap bahwa penjahat itu kasar
pekerti dan bodoh pikir. Ketika si penjahat berubah seolah-olah halus pekerti
dan pintar pikir, orang-orang tidak lagi menganggap ia penjahat. Orang-orang
inilah yang sesungguhnya bodoh sebab telah berhasil dibodohi. Bahkan ketika
pada akhirnya masyarakat luas tahu bahwa si tokoh jahat selama ini berpura-pura
baik pun akan berdecak kagum atas apa yang telah dilakukan dan bagaimana pintarnya
si penjahat itu.
Dengan sepenuh
sadar masyarakat percaya bahwa penjahat itu sangat pintar. Kelas penjahat telah
naik dan melampaui mereka. Untuk menjadi penjahat unggul haruslah berpekerti
halus dan pintar berpikir dan hampir semua penjahat modern itu memang unggul.
Namun, ketika penjahat unggul ini muncul di buku, komik, dan film tetap saja ia
diidentikkan dengan tawa terbahak-bahak, omongan tanpa tata krama, strategi
culas dan kurang hati-hati atau bodoh. Dan lucunya masyarakat lebih menyenangi
dan meyakini gambaran yang seperti ini. Oleh karena itu, penjahat unggul
berpendidikan bukanlah penjahat yang sebenarnya menurut anggapan masyarakat.
Kita tidak perlu heran jika terkadang ia dibela-bela selayaknya keluarga dan
dielu-elukan selayaknya pahwalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar