Kamis, 01 September 2016

Penjahat dan Masyarakat



Dalam catatan kejahatan konvensional, seorang yang dicap sebagai panjahat pastilah berpenampilan tak pantas, berperilaku buruk, dan berpendidikan rendah. Rendahnya kualitas ketiga aspek ini menggambarkan aksi yang kasar dan tanpa berpikir panjang demi memeroleh hasil yang diinginkan. Dalam buku-buku, komik atau film standar baku, karakter tokoh setiap penjahat itu pasti digambarkan dengan tawa terbahak-bahak, omongan tanpa tata krama, strategi culas dan kurang hati-hati atau bodoh. Semua jenis penjahat digambarkan semacam itu, persis seperti definisi karakter antagonis dalam lakon drama konvensional. Namun orang-orang tidak perlu cemas karena sehebat apapun penjahat itu pasti akan kalah atau tertangkap atau terbunuh karena kebodohannya. Pemahaman seperti itu sudah mengurat akar sehingga penanganan penjahat terkadang diserahkan pada sang waktu, yang intinya, jika waktunya telah sampai pastilah penjahat itu akan tertangkap karena kebodohannya.

Atas penilaian sepihak yang sangat merugikan kompetensi kognitif itu, para penjahat modern meningkatkan kualitas kepandaian pikir dirinya secara penuh gelora. Penjahat bodoh itu hanya ada di dalam buku, komik, dan film masa lalu – dan itu sama sekali tidak berkelas. Dengan semangat revolusioner, para penjahat modern dan berkelas ini mengadakan studi mendalam sebelum melakukan aksinya. Semua aspek yang melingkupi tindak dan celah – yang dapat menghambat serta melemahkan penghilangan jejak – dipelajari sedemikian rupa, sehingga semua   berjalan dengan bersih, tanpa ada curiga, dan benar-benar cerdas. Ini berarti, sebelum perbuatan jahat dilakukan, penampilan penuh kualitas ini menjadi syarat utama.

Dengan usaha keras ini, si penjahat jauh sebelum beraksi – berhasil menaikkan kelas dirinya melampaui kelas-kelas masyarakat lain. Bahkan sampai pada taraf kekuasaan yang sangat sulit untuk disentuh. Strategi penuh liku itu telah dirancangnya sampai hal-hal mendetil. Simulasi ia buat sehingga celah-celah kecil yang mungkin muncul dapat ditutupi. Benteng berlapis dibangun dengan membentuk pasukan pembela yang militan yang telah dicekoki dogma halusinatif tentang kebaikan si calon tokoh jahat ini. Si benteng tidak tahu kalau sebenarnya ia hanyalah calon-calon yang akan dikorbankan jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan – semisal niatan jahat itu ketahuan atau tindak jahatnya tertangkap tangan.

Dan benar saja, ketika kebenaran mulai terungkap, benteng tokoh jahat ini berkoar dan berpamer otot membela sepenuh daya. Segala tudingan jahat mereka tampik dengan jawaban mantap, bahwa si tokoh jahat yang ia bela adalah orang baik yang menjadi korban sistem, orang baik yang digunakan elemen kekuasaan, orang baik yang dijahati, dan seterusnya dan seterusnya. Intinya adalah para benteng itu tetap menganggap bahwa si tokoh jahat adalah orang pandai dan baik hati. Adalah hal biasa pembelaan yang terjadi. Yang menjadi tidak biasa adalah si pembela itu sebenaranya adalah kelas masyarakat yang menganggap bahwa penjahat itu kasar pekerti dan bodoh pikir. Ketika si penjahat berubah seolah-olah halus pekerti dan pintar pikir, orang-orang tidak lagi menganggap ia penjahat. Orang-orang inilah yang sesungguhnya bodoh sebab telah berhasil dibodohi. Bahkan ketika pada akhirnya masyarakat luas tahu bahwa si tokoh jahat selama ini berpura-pura baik pun akan berdecak kagum atas apa yang telah dilakukan dan bagaimana pintarnya si penjahat itu.


Dengan sepenuh sadar masyarakat percaya bahwa penjahat itu sangat pintar. Kelas penjahat telah naik dan melampaui mereka. Untuk menjadi penjahat unggul haruslah berpekerti halus dan pintar berpikir dan hampir semua penjahat modern itu memang unggul. Namun, ketika penjahat unggul ini muncul di buku, komik, dan film tetap saja ia diidentikkan dengan tawa terbahak-bahak, omongan tanpa tata krama, strategi culas dan kurang hati-hati atau bodoh. Dan lucunya masyarakat lebih menyenangi dan meyakini gambaran yang seperti ini. Oleh karena itu, penjahat unggul berpendidikan bukanlah penjahat yang sebenarnya menurut anggapan masyarakat. Kita tidak perlu heran jika terkadang ia dibela-bela selayaknya keluarga dan dielu-elukan selayaknya pahwalan.


Eko Ompong, Solo, 25 juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar