Kamis, 01 September 2016

Ramah Memaksa



Ramah-tamah itu menyenangkan. Melihat orang berbicara dengan lembut dan penuh senyum itu membahagiakan. Apalagi ketika keramahan itu ditujukan pada kita. Ah, benar-benar membuat bahagia. Terlebih ketika kita baru pertama jumpa dengan orang itu. Perjumpaan pertama bagaikan pernah berulang dan berlangsung dalam waktu yang lama. Keramahan membawa pada keakraban. Orang lain menjadi seperti saudara sendiri.

Pergaulan dan kehidupan sosial pasti ternampak surga jika begitu kiranya. Seolah tak ada amarah. Semua serba senyum. Seolah tak ada masalah karena penyebabnya menjadi tak tertemukan. Atas gambaran super hebat ini, keramahan menjadi prasyarat dasar moral pergaulan. Sejak kecil manusia dididik untuk ramah sehingga membudaya dan berlaku dalam hidup sehari-hari. Keramahan kemudian diharapkan untuk tertanam dalam jiwa.

Tetapi jalan hidup manusia itu berbeda-beda dan kehidupan selalu cerdik menjelmakan problema. Manusia tidak bisa lepas darinya. Akar keramahan yang membahagiakan bisa berubah jadi akar kriminalitas tindak penipuan bagi yang culas. Pura-pura ramah untuk menarik simpati dan kemudian mempecundangi serta menarik keuntungan pribadi. Keramahan pura-pura adalah keramahan terpaksa. Seperti para pedagang yang diharuskan menebar senyum dan renyah kata yang mendayu penuh rayu. Dalam berbagai keadaan ia harus ramah pada segenap pelanggannya. Akhirnya ia terpaksa untuk ramah agar pelanggan datang dan memaksa dengan ramah agar mau berbelanja. Jadinya, ia terpaksa untuk ramah dan keramahannya digunakan untuk memaksa.
 
Eko Ompong, Ho Chi Minh City, 12 Januari 2014

2 komentar:

  1. kalau ramah pasti ada maunya mas hahahahaha.... lagi2 saya teringat karibia hotel.

    BalasHapus
  2. He he... Sulit utk omong apa adanya

    BalasHapus