Ramah-tamah itu
menyenangkan. Melihat orang berbicara dengan lembut dan penuh senyum itu
membahagiakan. Apalagi ketika keramahan itu ditujukan pada kita. Ah,
benar-benar membuat bahagia. Terlebih ketika kita baru pertama jumpa dengan
orang itu. Perjumpaan pertama bagaikan pernah berulang dan berlangsung dalam
waktu yang lama. Keramahan membawa pada keakraban. Orang lain menjadi seperti
saudara sendiri.
Pergaulan dan
kehidupan sosial pasti ternampak surga jika begitu kiranya. Seolah tak ada
amarah. Semua serba senyum. Seolah tak ada masalah karena penyebabnya menjadi
tak tertemukan. Atas gambaran super hebat ini, keramahan menjadi prasyarat
dasar moral pergaulan. Sejak kecil manusia dididik untuk ramah sehingga membudaya
dan berlaku dalam hidup sehari-hari. Keramahan kemudian diharapkan untuk
tertanam dalam jiwa.
Tetapi jalan hidup
manusia itu berbeda-beda dan kehidupan selalu cerdik menjelmakan problema.
Manusia tidak bisa lepas darinya. Akar keramahan yang membahagiakan bisa
berubah jadi akar kriminalitas tindak penipuan bagi yang culas. Pura-pura ramah
untuk menarik simpati dan kemudian mempecundangi serta menarik keuntungan
pribadi. Keramahan pura-pura adalah keramahan terpaksa. Seperti para pedagang
yang diharuskan menebar senyum dan renyah kata yang mendayu penuh rayu. Dalam
berbagai keadaan ia harus ramah pada segenap pelanggannya. Akhirnya ia terpaksa
untuk ramah agar pelanggan datang dan memaksa dengan ramah agar mau berbelanja.
Jadinya, ia terpaksa untuk ramah dan keramahannya digunakan untuk memaksa.
kalau ramah pasti ada maunya mas hahahahaha.... lagi2 saya teringat karibia hotel.
BalasHapusHe he... Sulit utk omong apa adanya
BalasHapus