Membiasakan keberanian, bermula dari kepasrahan akibat
ketidakmilikan yang membebaskan dari ikatan-ikatan materi. Adanya kebebasan
membuat pikiran berani untuk menorobos kemustahilan. Perilaku hidup pun
demikian jadinya. Semua serba ringan bahkan ketika menemu ketidakpastian.
Karena yang pasti adalah ketidakmilikan, maka semua yang tidak pasti
sesungguhnya juga tidak ada.
Karena itu tidak
perlu ada rasa takut. Keberanian menyembul secara alamiah, menggelar jalannya
yang lebar dan gagah. Rasa takut adalah perihal kehilangan. Jika tak ada lagi
yang dipunya, maka rasa kehilangan menjadi tidak ada. Namun secara harfiah,
wujud manusia adalah materi yang berada dan pasti. Ia memerlukan ikatan-ikatan
untuk menegaskan keberadaan. Ikatan adalah penanda adanya kontak yang saling
mempengaruhi yang melahirkan pengakuan atas diri dan orang lain.
Pengakuan semacam
ini sebenarnya tidak pernah bisa merasuk ke dalam inti diri yang sesungguhnya.
Ia hanyalah budaya kulit, yang mana untuk tampil cantik menggoda dibutuhkan
polesan. Ketakutan akan hilangnya pengakuan menyemarakkan budaya polesan. Jadi,
yang ditakuti akan hilang sebenarnya adalah kepalsuan karena ia budaya kulit,
dan untuk mempertahankan yang kulit ini pun diperlukan kepalsuan lain berupa
tindak memoles.
Jika semua hanya
berupa kepalsuan, untuk apa menjadi takut kehilangan? Bahkan ketika yang tiada
itu adalah materi sejati, ketakutan akan kehilangan juga tidak perlu ada,
karena materi sendiri tidak akan merasakan apapun ketika tiada. Memupuk
keberanian adalah belajar melepas rasa kehilangan akan materi yang melahirkan
ikatan-ikatan.
Eko Ompong, Chiang Mai, 4 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar