Kamis, 01 September 2016

Cerita Kopi



Kopi adalah minuman yang biasa dijumpai selain teh. Banyak jenis kopi yang dijual di pasaran. Ada yang dalam bentuk bubuk ataupun bungkus instan siap saji. Tata cara minum kopi pun ternyata berlain-lainan. Ada yang dituang dalam cangkir kecil dan ada pula yang dalam gelas. Ada yang suka kental dan ada yang lebih suka sedikit cair. Cara masaknya juga beda. Ada yang direbus langsung di mana kopi dan air dipanaskan dalam satu wadah secara bersama dan ada yang kopi bubuk atau instan-nya ditabur dalam cangkir atau gelas baru kemudian dituangi air panas mendidih. Dalam penyajiannya, ada yang suka memakai banyak gula, sedikit gula, tanpa gula, ditambah susu atau jahe. Intinya, banyak sekali cara yang digunakan orang untuk menikmati minuman kopi.

Dalam satu daerah atau keluarga tertentu, terkadang minum kopi menjadi budaya. Baik untuk mencegah kantuk atau teman ngobrol atau teman kerja. Kebiasaan ini ternyata menafikan keragaman cara menikmati kopi seperti yang telah disebutkan di atas. Karena terbiasa menikmati salah satu jenis kopi ditambah gula sehingga berasa manis setiap harinya, maka muncul anggapan bahwa semua orang dan daerah atau budaya lainnya juga minum kopi dengan cara seperti itu. Anggapan ini lahir otomatis dari perasaan tanpa proses pemikiran karena keterbiasaan yang dilakukan sehari-hari dalam waktu yang lama. Karena manusia sejak lahirnya sudah menganggap diri sebagai makhluk paling superior di jagad raya ini, anggapan yang lahir otomatis dari perasaan itu telah menjadi penilaian final. Ia menjadi tolok ukur tunggal.

Inilah yang terjadi pada seseorang. Ketika ia biasa minum kopi dari gelas besar dan berasa manis serta di daerah tempat ia tinggal memang begitu adanya, ia akan menganggap semua daerah lainnya sama. Pada saat ia berkunjung di daerah lain dan mampir di kedai kopi lalu memesan kopi dan kemudian kopi tersaji dalam cangkir kecil disertai air putih dalam gelas yang juga kecil dan sepotong kue yang juga kecil. Ia mengernyit seolah tak percaya. Dalam anggapannya, mana mungkin kopi dalam cangkir yang tak seberapa itu mampu menghilangkan dahaganya dan untuk apa pula air putih dan kue itu?

Dengan yakin dan mengesampingkan air putih serta kue, ia menambahkan satu sendok gula, lalu mengaduknya. Setelah didiamkan beberapa saat, ia minum kopi itu secara gagah, tenang, dan mantap seperti yang biasa ia lakukan. Belum sempat dua tegukan ia terperanjat, bibir merapat, dan mata memejam demi merasakan pahit yang menohok tenggorokannya. Sesegera mungkin ia minum air putih dalam gelas kecil yang tadi terabai, disusul memakan kue kecil yang berasa manis dan gurih itu, lalu minum lagi air putih. Ia kemudian diam sesaat, membiarkan rasa pahit itu meninggalkan tenggorokannya sambil matanya menatap cangkir kopi dengan penuh tidak percaya. Bagaimana mungkin kopi dalam cangkir sekecil itu bisa memiliki rasa pahit yang mencekik tenggorokan padahal telah dicampur satu sendok gula? Ia tertegun. Belum pernah sepanjang hidupnya ia minum kopi sepahit itu.

Sebentar kemudian kesadarannya muncul membawa penjelasan bahwa ia sekarang ini tidak sedang minum kopi di daerahnya. Matanya melirik ke kanan dan kekiri dan nampaklah semua pengunjung kedai itu menikmati kopi dalam cangkir kecil sambil ngobrol santai. Untuk menuntaskan rasa herannya, ia bertanya kepada pengunjung yang lain mengenai kebiasaan minum kopi. Ternyata, di daerah itu kopi dinikmati karena rasa pahitnya yang khas, disajikan dalam cangkir kecil ditemani segelas air putih dan sepotong kue. Air putih dan kue hanya sekedar penawar rasa pahit tapi tidak untuk menghilangkannya. Dan di situlah nikmatnya.

Sambil mengangguk-angguk ia mencoba memahami penjelasan pengunjung lain itu. Namun, dalam hati ia berkata, “Kok bisa-bisanya orang menikmati kopi sepahit itu?” Selintas kemudian sebagai bentuk sopan santun ia pun menjelaskan cara minum kopi di daerahnya. Kopi tersaji di dalam gelas besar dan dicampur banyak gula sehingga rasa manisnya lebih terasa dibandingkan pahitnya jadi tidak perlu menyediakan air putih dan kue segala. Kopi akan lebih indah jika dinikmati aromanya sementara manisnya menempel di lidah. Di situlah nikmatnya. Pengunjung yang lain itu mengangguk-anggukkan kepala mencoba memahami. Namun jauh di dalam hantinya ia berkata, “Kok bisa-bisanya orang menikmati kopi semanis itu?”


Eko Ompong, Ho Chi Minh City, 12 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar