Kopi adalah minuman
yang biasa dijumpai selain teh. Banyak jenis kopi yang dijual di pasaran. Ada
yang dalam bentuk bubuk ataupun bungkus instan siap saji. Tata cara minum kopi
pun ternyata berlain-lainan. Ada yang dituang dalam cangkir kecil dan ada pula
yang dalam gelas. Ada yang suka kental dan ada yang lebih suka sedikit cair.
Cara masaknya juga beda. Ada yang direbus langsung di mana kopi dan air dipanaskan
dalam satu wadah secara bersama dan ada yang kopi bubuk atau instan-nya ditabur
dalam cangkir atau gelas baru kemudian dituangi air panas mendidih. Dalam
penyajiannya, ada yang suka memakai banyak gula, sedikit gula, tanpa gula,
ditambah susu atau jahe. Intinya, banyak sekali cara yang digunakan orang untuk
menikmati minuman kopi.
Dalam satu daerah
atau keluarga tertentu, terkadang minum kopi menjadi budaya. Baik untuk
mencegah kantuk atau teman ngobrol atau teman kerja. Kebiasaan ini ternyata
menafikan keragaman cara menikmati kopi seperti yang telah disebutkan di atas.
Karena terbiasa menikmati salah satu jenis kopi ditambah gula sehingga berasa
manis setiap harinya, maka muncul anggapan bahwa semua orang dan daerah atau
budaya lainnya juga minum kopi dengan cara seperti itu. Anggapan ini lahir
otomatis dari perasaan tanpa proses pemikiran karena keterbiasaan yang
dilakukan sehari-hari dalam waktu yang lama. Karena manusia sejak lahirnya
sudah menganggap diri sebagai makhluk paling superior di jagad raya ini,
anggapan yang lahir otomatis dari perasaan itu telah menjadi penilaian final.
Ia menjadi tolok ukur tunggal.
Inilah yang terjadi
pada seseorang. Ketika ia biasa minum kopi dari gelas besar dan berasa manis
serta di daerah tempat ia tinggal memang begitu adanya, ia akan menganggap
semua daerah lainnya sama. Pada saat ia berkunjung di daerah lain dan mampir di
kedai kopi lalu memesan kopi dan kemudian kopi tersaji dalam cangkir kecil
disertai air putih dalam gelas yang juga kecil dan sepotong kue yang juga
kecil. Ia mengernyit seolah tak percaya. Dalam anggapannya, mana mungkin kopi
dalam cangkir yang tak seberapa itu mampu menghilangkan dahaganya dan untuk apa
pula air putih dan kue itu?
Dengan yakin dan
mengesampingkan air putih serta kue, ia menambahkan satu sendok gula, lalu
mengaduknya. Setelah didiamkan beberapa saat, ia minum kopi itu secara gagah,
tenang, dan mantap seperti yang biasa ia lakukan. Belum sempat dua tegukan ia
terperanjat, bibir merapat, dan mata memejam demi merasakan pahit yang menohok
tenggorokannya. Sesegera mungkin ia minum air putih dalam gelas kecil yang tadi
terabai, disusul memakan kue kecil yang berasa manis dan gurih itu, lalu minum
lagi air putih. Ia kemudian diam sesaat, membiarkan rasa pahit itu meninggalkan
tenggorokannya sambil matanya menatap cangkir kopi dengan penuh tidak percaya.
Bagaimana mungkin kopi dalam cangkir sekecil itu bisa memiliki rasa pahit yang
mencekik tenggorokan padahal telah dicampur satu sendok gula? Ia tertegun.
Belum pernah sepanjang hidupnya ia minum kopi sepahit itu.
Sebentar kemudian
kesadarannya muncul membawa penjelasan bahwa ia sekarang ini tidak sedang minum
kopi di daerahnya. Matanya melirik ke kanan dan kekiri dan nampaklah semua
pengunjung kedai itu menikmati kopi dalam cangkir kecil sambil ngobrol santai.
Untuk menuntaskan rasa herannya, ia bertanya kepada pengunjung yang lain
mengenai kebiasaan minum kopi. Ternyata, di daerah itu kopi dinikmati karena
rasa pahitnya yang khas, disajikan dalam cangkir kecil ditemani segelas air
putih dan sepotong kue. Air putih dan kue hanya sekedar penawar rasa pahit tapi
tidak untuk menghilangkannya. Dan di situlah nikmatnya.
Sambil
mengangguk-angguk ia mencoba memahami penjelasan pengunjung lain itu. Namun,
dalam hati ia berkata, “Kok bisa-bisanya orang menikmati kopi sepahit itu?”
Selintas kemudian sebagai bentuk sopan santun ia pun menjelaskan cara minum
kopi di daerahnya. Kopi tersaji di dalam gelas besar dan dicampur banyak gula
sehingga rasa manisnya lebih terasa dibandingkan pahitnya jadi tidak perlu
menyediakan air putih dan kue segala. Kopi akan lebih indah jika dinikmati
aromanya sementara manisnya menempel di lidah. Di situlah nikmatnya. Pengunjung
yang lain itu mengangguk-anggukkan kepala mencoba memahami. Namun jauh di dalam
hantinya ia berkata, “Kok bisa-bisanya orang menikmati kopi semanis itu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar