Pesona selalu didambakan setiap orang sepertinya. Karena
ia bisa menambah wibawa, kharisma ataupun sejenis kata-kata lain yang bermakna
melambungkan mutu personal, bahkan sering ia terlanjur dianggap sebagai logo
mutu personal itu sendiri. Ia menjadi sangat menggoda karena pesona juga berarti pengakuan
orang banyak terhadap person dimaksud. Semakin banyak pengakuan, semakin
hebatlah person itu. Oleh karena itu, banyak orang bersusah-payah berusaha
untuk menggaet pesona. Dari forum diskusi, seminar, diklat, sekolah, sampai ke
taraf yang tak masuk akal sekalipun, misalnya membaca mantera atau laku
tertentu akibat saran dari ahli mistik. Intinya, tidak natural melahirkan
pesona, melainkan membelinya.
Tapi sayang,
sedikit sekali orang yang menyadari bahwa pesona itu pun sesungguhnya
menggambarkan visualisasi yang daging, fisik saja. Terutama ketika ia hanya
dilihat selintas atau hadir akibat dibeli. Lucunya, si pembeli pesona atau
pelaku pesona selintas ini merasa bahwa itu adalah pesona sesungguhnya. Orang
yang berpenampilan rapi, berjas dan berdasi, atau berwajah cakep itu akan
melahirkan pesona selintas yang meninggikan mutu personal meski hanya kualitas
daging saja. Belum tentu ketika diakrabi orang ini secara mendalam ia
berkualitas sama dengan penampilannya. Tapi yang seperti ini masih wajar
adanya. Kecuali jika ia selalu merasa bahwa keelokan luarnya setara dengan
dalamnya meskipun sesungguhnya tidak.
Yang lebih parah
lagi adalah pesona yang dibeli secara mistik dan riil dalam waktu bersamaan.
Mungkin banyak orang terperangah tak percaya atau bertanya, “Emang ada yang seperti itu?” Jawabannya
cukup mudah yakni dengan melihat panggung politik pendulangan suara menjelang
pemilihan pimpinan itu. Si calon dengan rutin mengunjungi dunia mantera dan
jampi-jampi dan menyebar kertas bergambar angka untuk menjaring para pemuja.
Lalu ketika si calon itu orasi berapi-api di panggung yang telah dibeli, dengan
sorak-sorai yang telah dibeli, dan pesona mistik yang juga dibeli ia menjadi
lupa bahwa semuanya memang telah ia beli. Lalu dengan gagah ia merasa bahwa
memang itu adalah pesona naturalnya dan tidak sembarang orang bisa sepertinya. Semua
modal dan model beli pesona telah ia lupa dan yakin tidak pernah ada terutama
ketika akhirnya ia terpilih.
Dengan segenap
keyakinan ia percaya bahwa pesona itu setara kemampuannya. Ia duduk
mendongakkan kepala. Lalu ketika pada kerja riil, ia merasa tak mendapati
kemampuan dalam dirinya, kembali “model beli” itulah yang digunakan. Segalanya
kemudian sangat tergantung dengan kertas bergambar angka. Tidak peduli itu
berasal darimana. Yang penting bisa membeli kemampuan yang secara ruhaniah tak
pernah dimilikinya. Lama waktu berjalan, pesona hasil beli itu kemudian
menjelma menjadi laku yang sadis. Laku yang makan meski tak lapar, dan minum
meski tak haus, dan itu tiada henti.... sampai mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar