Kamis, 01 September 2016

Pesona yang Sadis



Pesona selalu didambakan setiap orang sepertinya. Karena ia bisa menambah wibawa, kharisma ataupun sejenis kata-kata lain yang bermakna melambungkan mutu personal, bahkan sering ia terlanjur dianggap sebagai logo mutu personal itu sendiri. Ia menjadi sangat   menggoda karena pesona juga berarti pengakuan orang banyak terhadap person dimaksud. Semakin banyak pengakuan, semakin hebatlah person itu. Oleh karena itu, banyak orang bersusah-payah berusaha untuk menggaet pesona. Dari forum diskusi, seminar, diklat, sekolah, sampai ke taraf yang tak masuk akal sekalipun, misalnya membaca mantera atau laku tertentu akibat saran dari ahli mistik. Intinya, tidak natural melahirkan pesona, melainkan membelinya.

Tapi sayang, sedikit sekali orang yang menyadari bahwa pesona itu pun sesungguhnya menggambarkan visualisasi yang daging, fisik saja. Terutama ketika ia hanya dilihat selintas atau hadir akibat dibeli. Lucunya, si pembeli pesona atau pelaku pesona selintas ini merasa bahwa itu adalah pesona sesungguhnya. Orang yang berpenampilan rapi, berjas dan berdasi, atau berwajah cakep itu akan melahirkan pesona selintas yang meninggikan mutu personal meski hanya kualitas daging saja. Belum tentu ketika diakrabi orang ini secara mendalam ia berkualitas sama dengan penampilannya. Tapi yang seperti ini masih wajar adanya. Kecuali jika ia selalu merasa bahwa keelokan luarnya setara dengan dalamnya meskipun sesungguhnya tidak.

Yang lebih parah lagi adalah pesona yang dibeli secara mistik dan riil dalam waktu bersamaan. Mungkin banyak orang terperangah tak percaya atau bertanya, “Emang ada yang seperti itu?” Jawabannya cukup mudah yakni dengan melihat panggung politik pendulangan suara menjelang pemilihan pimpinan itu. Si calon dengan rutin mengunjungi dunia mantera dan jampi-jampi dan menyebar kertas bergambar angka untuk menjaring para pemuja. Lalu ketika si calon itu orasi berapi-api di panggung yang telah dibeli, dengan sorak-sorai yang telah dibeli, dan pesona mistik yang juga dibeli ia menjadi lupa bahwa semuanya memang telah ia beli. Lalu dengan gagah ia merasa bahwa memang itu adalah pesona naturalnya dan tidak sembarang orang bisa sepertinya. Semua modal dan model beli pesona telah ia lupa dan yakin tidak pernah ada terutama ketika akhirnya ia terpilih.

Dengan segenap keyakinan ia percaya bahwa pesona itu setara kemampuannya. Ia duduk mendongakkan kepala. Lalu ketika pada kerja riil, ia merasa tak mendapati kemampuan dalam dirinya, kembali “model beli” itulah yang digunakan. Segalanya kemudian sangat tergantung dengan kertas bergambar angka. Tidak peduli itu berasal darimana. Yang penting bisa membeli kemampuan yang secara ruhaniah tak pernah dimilikinya. Lama waktu berjalan, pesona hasil beli itu kemudian menjelma menjadi laku yang sadis. Laku yang makan meski tak lapar, dan minum meski tak haus, dan itu tiada henti.... sampai mati.

 
Eko Ompong, Riau, 13 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar