Kehidupan adalah kenyataan. Akan tetapi perlu
digarisbawahi bahwa kenyataan itu sering dibangun dari angggapan-anggapan.
Seorang raja merasa bahwa secara nyata rakyat mencintainya, namun sesungguhnya
belumlah pasti demikian. Rakyat menunjukkan sikap patuh dan cinta mungkin
karena keharusan budaya, takut atau terpaksa. Bahkan mungkin sikap itu harus
dipertontonkan, sebab jika tidak, konsekuensi hukum akan diterimanya. Jadi
kecintaan yang dilambari keterpaksaan inilah kenyataannya, sedangkan rasa cinta
sesungguhnya hanyalah anggapan sepihak sang raja.
Jika saja
kenyataan ini disampaikan pada sang raja, bisa jadi ia membantahnya, sebab
memang yang tersaji di depan matanya adalah pemandangan dan ungkapan rasa
cinta. Ia tetap tidak akan percaya bahkan ketika semua rakyat menyatakan yang
sejujurnya bahwa mereka melakukan itu atas dasar keterpaksaan. Ia telah lama
hidup dalam anggapannya yang ia sangka sebagai kenyataan. Pada akhirnya, ia –
dengan segala kekuasaan dan caranya – akan memaksakan anggapan itu menjadi
kenyataan. Maka kemudian yang terjadi adalah anggapan itulah kenyataan dan
kenyataan itu hanyalah anggapan.
Di dalam
kehidupan dewasa ini, tokoh sang raja semacam ini banyak bermunculan dari
berbagai profesi dan lapisan kelas masyarakat. Hidup dibangun dari
anggapan-anggapan. Dan tanpa anggapan, maka tidak ada lagi kenyataan.
Manipulasi sana-sini termasuk biaya yang tinggi dikeluarkan hanya demi
membangun anggapan-anggapan ini. Semakin jauh anggapan dan kenyataan, semakin
tinggi biaya dan semakin banyak cara dan usaha – bahkan sampai taraf kriminal –
dilakukan. Seorang yang terlanjur membangun anggapan bahwa ia bersih dari
segala tindak kecurangan, akan berusaha sedramatis dan seheroik mungkin untuk
menutupi sejarah kecurangan yang senyatanya pernah ia perbuat.
Sementara itu,
telah lama menjadi kenyataan sejarah bahwa segala bentuk kecurangan pada
waktunya pasti akan terungkap. Juga nasihat bijak yang selalu mengiang, bahwa
kebenaran itu akan muncul dengan sendirinya secara internal – sebab ia akan
senantiasa menjadi mimpi buruk yang menghantui jika belum terungkap. Jadi, para
tokoh Sang Raja ini kemanapun pergi sesungguhnya membawa minuman beracun yang
menunggu waktu untuk diminum sendiri. Tak heroik dan tak dramatis, melainkan
ironis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar