Kamis, 01 September 2016

Anggapan



Kehidupan adalah kenyataan. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa kenyataan itu sering dibangun dari angggapan-anggapan. Seorang raja merasa bahwa secara nyata rakyat mencintainya, namun sesungguhnya belumlah pasti demikian. Rakyat menunjukkan sikap patuh dan cinta mungkin karena keharusan budaya, takut atau terpaksa. Bahkan mungkin sikap itu harus dipertontonkan, sebab jika tidak, konsekuensi hukum akan diterimanya. Jadi kecintaan yang dilambari keterpaksaan inilah kenyataannya, sedangkan rasa cinta sesungguhnya hanyalah anggapan sepihak sang raja.

Jika saja kenyataan ini disampaikan pada sang raja, bisa jadi ia membantahnya, sebab memang yang tersaji di depan matanya adalah pemandangan dan ungkapan rasa cinta. Ia tetap tidak akan percaya bahkan ketika semua rakyat menyatakan yang sejujurnya bahwa mereka melakukan itu atas dasar keterpaksaan. Ia telah lama hidup dalam anggapannya yang ia sangka sebagai kenyataan. Pada akhirnya, ia – dengan segala kekuasaan dan caranya – akan memaksakan anggapan itu menjadi kenyataan. Maka kemudian yang terjadi adalah anggapan itulah kenyataan dan kenyataan itu hanyalah anggapan.

Di dalam kehidupan dewasa ini, tokoh sang raja semacam ini banyak bermunculan dari berbagai profesi dan lapisan kelas masyarakat. Hidup dibangun dari anggapan-anggapan. Dan tanpa anggapan, maka tidak ada lagi kenyataan. Manipulasi sana-sini termasuk biaya yang tinggi dikeluarkan hanya demi membangun anggapan-anggapan ini. Semakin jauh anggapan dan kenyataan, semakin tinggi biaya dan semakin banyak cara dan usaha – bahkan sampai taraf kriminal – dilakukan. Seorang yang terlanjur membangun anggapan bahwa ia bersih dari segala tindak kecurangan, akan berusaha sedramatis dan seheroik mungkin untuk menutupi sejarah kecurangan yang senyatanya pernah ia perbuat.

Sementara itu, telah lama menjadi kenyataan sejarah bahwa segala bentuk kecurangan pada waktunya pasti akan terungkap. Juga nasihat bijak yang selalu mengiang, bahwa kebenaran itu akan muncul dengan sendirinya secara internal – sebab ia akan senantiasa menjadi mimpi buruk yang menghantui jika belum terungkap. Jadi, para tokoh Sang Raja ini kemanapun pergi sesungguhnya membawa minuman beracun yang menunggu waktu untuk diminum sendiri. Tak heroik dan tak dramatis, melainkan ironis.


Eko Ompong, Jogja - Jakarta, 18 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar