Ketika kondisi hidup manusia berada dalam taraf ekonomi
sederhana, kata “cukup” setara dengan ucap syukur melegakan. Cukup pangan,
sandang, dan papan. Kebutuhan lain yang tak pokok bukan menjadi masalah. Hidup demikian
menjadi mudah. Apalagi didukung lingkungan sosial yang sama. Rasa dan makna
“cukup” itu dihayati bersama secara sederhana baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Tidak ada yang perlu berlebih karena lebih yang satu berarti
kekuangan yang lain. Harmoni hidup yang tak rumit dan serasa alami.
Hanya saja hidup
manusia itu tak pernah bisa singgah dalam satu posisi. Adanya keinginan atau
harapan atau impian itu menerbangkan semangat untuk berusaha meraihnya. Hukum
hidup juga sudah tertulis bahwa segala yang tampaknya mustahil, dapat terwujud
dengan usaha keras tanpa lelah. Semua manusia yang bergairah untuk meningkatkan
kualitas, paham akan hal ini. Oleh karena itu berbagai cara dan upaya ditempuh
untuk meraih harapan-harapan yang ada dalam benaknya.
Ketika satu
harapan terwujud, rasa puas terpancar bersamaan dengan terbangunnya harapan
baru. Keyakinan akan teraihnya harapan itu terbangkitkan dan menstruktur ke
dalam strategi capaian. Pada akhirnya, harapan berubah menjadi keharusan.
Capaian satu akan mengarah kepada capaian yang lain dan tidak akan pernah
berhenti. Tidak ada lagi kemudian kata “cukup” yang dulunya adalah harmoni
hidup alami. “Cukup” adalah penanda berhentinya harapan dan atau gagalnya
capaian dan ini tidak boleh terjadi.
Dalam hidup yang
penuh dengan rencana untuk meraih capaian-capaian kualitatif dan kuantitatif
semacam ini, sangatlah mudah untuk bilang kurang dan teramat sulit untuk
berkata cukup.
Eko Ompong, Jogja - Kuala Lumpur, 3 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar