Kamis, 01 September 2016

Cukup yang Sulit



Ketika kondisi hidup manusia berada dalam taraf ekonomi sederhana, kata “cukup” setara dengan ucap syukur melegakan. Cukup pangan, sandang, dan papan. Kebutuhan lain yang tak pokok bukan menjadi masalah. Hidup demikian menjadi mudah. Apalagi didukung lingkungan sosial yang sama. Rasa dan makna “cukup” itu dihayati bersama secara sederhana baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Tidak ada yang perlu berlebih karena lebih yang satu berarti kekuangan yang lain. Harmoni hidup yang tak rumit dan serasa alami.

Hanya saja hidup manusia itu tak pernah bisa singgah dalam satu posisi. Adanya keinginan atau harapan atau impian itu menerbangkan semangat untuk berusaha meraihnya. Hukum hidup juga sudah tertulis bahwa segala yang tampaknya mustahil, dapat terwujud dengan usaha keras tanpa lelah. Semua manusia yang bergairah untuk meningkatkan kualitas, paham akan hal ini. Oleh karena itu berbagai cara dan upaya ditempuh untuk meraih harapan-harapan yang ada dalam benaknya.

Ketika satu harapan terwujud, rasa puas terpancar bersamaan dengan terbangunnya harapan baru. Keyakinan akan teraihnya harapan itu terbangkitkan dan menstruktur ke dalam strategi capaian. Pada akhirnya, harapan berubah menjadi keharusan. Capaian satu akan mengarah kepada capaian yang lain dan tidak akan pernah berhenti. Tidak ada lagi kemudian kata “cukup” yang dulunya adalah harmoni hidup alami. “Cukup” adalah penanda berhentinya harapan dan atau gagalnya capaian dan ini tidak boleh terjadi.

Dalam hidup yang penuh dengan rencana untuk meraih capaian-capaian kualitatif dan kuantitatif semacam ini, sangatlah mudah untuk bilang kurang dan teramat sulit untuk berkata cukup.


 Eko Ompong, Jogja - Kuala Lumpur, 3 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar