Membincang pasar pada masa dulu, pastilah terbayang riuh
ramai suara kumpulan manusia dalam aneka kegiatan dan perdagangan. Meski awalnya adalah agorra atau tempat orang nongkrong,
ngobrol sana-sini, tukar menukar barang kebutuhan harian hingga artinya yang
sekarang berubah menjadi market itu,
pasar menandakan keramaian. Apa-apa yang dinamakan pasar mesti ramai sifatnya.
Ya, memang begitu
dan semestinya begitu. Tetapi ketika kemudian, pasar hanya berubah menjadi
tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, maka sisi-sisi lain menjadi
terpinggirkan atau tertiadakan. Ngobrol, tukar menukar pengalaman dengan teman
yang ditemui, menjalin keakraban sesama manusia dengan pedagang – yang lalu
kemudian kita dicap sebagai pelanggan – atau saling sapa dengan pembeli lain
yang asing dan lalu bisa akrab itu pelan namun pasti hilang. Ini mungkin
bedanya antara agorra dan market itu kira-kira.
“Pasar ilang kumandhange”, kata orang
Jawa itu benar-benar kita alami ketika pasar hanyalah market. Ia tak seriuh dan semanusia dulu. Ia tak lagi dibanjiri
kata, kalimat, cerita, dan makna antara manusia. Ia tak lagi memaknai manusia
sebagai makhluk sosial. Dengan artinya yang baru, pasar lalu dipenuhi lapak
barang, makanan, dan segala objek jual yang menumpuk yang semakin tegas
diperlihatkan dengan semakin menyempitnya lorong jalan para pembeli. Taka ada
lagi kemungkinan bicara lama-lama dengan teman yang ditemui di lorong itu atau
bahkan ngobrol asyik antara penjual dan pembeli atau antara manusia satu dengan
manusia lain. Kata dan kalimat yang terlontar kemudian monoton, kaku, dan datar
sekitar harga dan objek jual-beli itu saja.
Karena hanya
mempertemukan penjual dan pembeli dan hanya terkait dengan objek dan harga
jual, maka pasar banyak dimunculkan dengan bahkan tanpa memproduksi kata-kata
manusia bagi semua manusia yang terlibat di dalamnya. Semua objek jualan telah
dilabeli harga dan tak ada lagi proses tawar-menawar, hitung-hitungan menjadi
pasti dan kaku dengan adanya alat penghitung. Yang tersisa kemudian hanyalah
keramahan singkat ala robot dari sang penjual yang sebenarnya juga hanya buruh
itu, “Terimakasih, silakan datang kembali!”
Pasar seperti ini
semakin menjajah dan bahkan pasar yang antara penjual dan pembeli tidak saling
bertemu pun mulai bertumbuh merajalela di dunia maya yang katanya lebih efektif
dan efisien secara ekonomis itu. Kalau sudah demikian, maka pasar yang riuh itu
adalah kesunyian, dan ketika kita terbiasa sunyi lalu kemudian berkunjung ke
pasar yang masih riuh itu kita jadi merasa asing, tak biasa, terisolir dan
akhirnya sunyi juga.
Eko Ompong, Riau, 9 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar