Kamis, 01 September 2016

Pasar dan Kesunyian



Membincang pasar pada masa dulu, pastilah terbayang riuh ramai suara kumpulan manusia dalam aneka kegiatan   dan perdagangan. Meski awalnya adalah agorra atau tempat orang nongkrong, ngobrol sana-sini, tukar menukar barang kebutuhan harian hingga artinya yang sekarang berubah menjadi market itu, pasar menandakan keramaian. Apa-apa yang dinamakan pasar mesti ramai sifatnya.

Ya, memang begitu dan semestinya begitu. Tetapi ketika kemudian, pasar hanya berubah menjadi tempat pertemuan antara penjual dan pembeli, maka sisi-sisi lain menjadi terpinggirkan atau tertiadakan. Ngobrol, tukar menukar pengalaman dengan teman yang ditemui, menjalin keakraban sesama manusia dengan pedagang – yang lalu kemudian kita dicap sebagai pelanggan – atau saling sapa dengan pembeli lain yang asing dan lalu bisa akrab itu pelan namun pasti hilang. Ini mungkin bedanya antara agorra dan market itu kira-kira.

Pasar ilang kumandhange”, kata orang Jawa itu benar-benar kita alami ketika pasar hanyalah market. Ia tak seriuh dan semanusia dulu. Ia tak lagi dibanjiri kata, kalimat, cerita, dan makna antara manusia. Ia tak lagi memaknai manusia sebagai makhluk sosial. Dengan artinya yang baru, pasar lalu dipenuhi lapak barang, makanan, dan segala objek jual yang menumpuk yang semakin tegas diperlihatkan dengan semakin menyempitnya lorong jalan para pembeli. Taka ada lagi kemungkinan bicara lama-lama dengan teman yang ditemui di lorong itu atau bahkan ngobrol asyik antara penjual dan pembeli atau antara manusia satu dengan manusia lain. Kata dan kalimat yang terlontar kemudian monoton, kaku, dan datar sekitar harga dan objek jual-beli itu saja.

Karena hanya mempertemukan penjual dan pembeli dan hanya terkait dengan objek dan harga jual, maka pasar banyak dimunculkan dengan bahkan tanpa memproduksi kata-kata manusia bagi semua manusia yang terlibat di dalamnya. Semua objek jualan telah dilabeli harga dan tak ada lagi proses tawar-menawar, hitung-hitungan menjadi pasti dan kaku dengan adanya alat penghitung. Yang tersisa kemudian hanyalah keramahan singkat ala robot dari sang penjual yang sebenarnya juga hanya buruh itu, “Terimakasih, silakan datang kembali!”

Pasar seperti ini semakin menjajah dan bahkan pasar yang antara penjual dan pembeli tidak saling bertemu pun mulai bertumbuh merajalela di dunia maya yang katanya lebih efektif dan efisien secara ekonomis itu. Kalau sudah demikian, maka pasar yang riuh itu adalah kesunyian, dan ketika kita terbiasa sunyi lalu kemudian berkunjung ke pasar yang masih riuh itu kita jadi merasa asing, tak biasa, terisolir dan akhirnya sunyi juga.
 

Eko Ompong, Riau, 9 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar