Kamis, 01 September 2016

Obral Obrol



Satu malam yang hampir gerimis atau hendak menuju hujan, terdapat sekumpulan manusia bergerombol. Ada yang saling bicara. Ada pula yang hanya mendengar sambil sesekali mengubah tempat duduk atau menata ekspresi wajah dan gestur tubuh. Semua biasa saja. Tapi menjadi istimewa ketika diketahui bahwa mereka adalah para pelaku seni yang obrolannya pun tak lepas dari subjek seni.

Banyak yang termuntahkan di malam itu, mulai dari pengalaman-pengalaman, analisis, rencana, dan bahkan ribuan pengandaian sampai taraf yang paling mustahil. Terus begitu selama pagi belum melahap malam.

Kalimat-kalimat yang berserakan di ruang bicara itu coba kupunguti satu-persatu. Kutata ulang, kubaca lagi, kucermati dalam pikiran. Menjelang selesai, terhenyak kesadaran bahwa dari ribuan kalimat itu tak ada satupun yang bermakna aktif serta kini. Hei?? Kenapa bisa begitu. Lalu apa saja yang terlontar itu kemudian? Semua serba telah terjadi dan yang sedang dikahayalkan. Lalu apa yang dikerjakan saat ini?

Dalam sementara kebimbangan kutoleh orang di sebelahku yang lebih banyak diam seperti halnya diriku. Ia paham maksud tolehanku dan dengan lirih berkata, “Ya, begini ini yang terjadi hampir tiap malam.” Atas kesadaran dan jawaban yang kuterima ini, aku beranjak menjauh pelan-pelan dari ruang itu. Bukan untuk pergi tapi kembali mengamati dengan tanpa rasa apapun. Dan kulihat sekumpulan manusia bergerombol itu tetap saling bicara dan senang.

Subjek seni itu terus melayang-layang di kepala mereka, terlontar dari mulut mereka, berubah jadi eksistensi, berubah jadi prestasi, berubah jadi keyakinan, berubah jadi dogma. Ia berubah jadi apapun, tapi tidak atau masih menunggu waktu lama lagi untuk berubah jadi kenyataan.


Eko Ompong, Makassar, 5 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar