Satu malam yang hampir gerimis atau hendak menuju hujan,
terdapat sekumpulan manusia bergerombol. Ada yang saling bicara. Ada pula yang
hanya mendengar sambil sesekali mengubah tempat duduk atau menata ekspresi
wajah dan gestur tubuh. Semua biasa saja. Tapi menjadi istimewa ketika
diketahui bahwa mereka adalah para pelaku seni yang obrolannya pun tak lepas
dari subjek seni.
Banyak yang
termuntahkan di malam itu, mulai dari pengalaman-pengalaman, analisis, rencana,
dan bahkan ribuan pengandaian sampai taraf yang paling mustahil. Terus begitu
selama pagi belum melahap malam.
Kalimat-kalimat
yang berserakan di ruang bicara itu coba kupunguti satu-persatu. Kutata ulang,
kubaca lagi, kucermati dalam pikiran. Menjelang selesai, terhenyak kesadaran
bahwa dari ribuan kalimat itu tak ada satupun yang bermakna aktif serta kini.
Hei?? Kenapa bisa begitu. Lalu apa saja yang terlontar itu kemudian? Semua
serba telah terjadi dan yang sedang dikahayalkan. Lalu apa yang dikerjakan saat
ini?
Dalam sementara
kebimbangan kutoleh orang di sebelahku yang lebih banyak diam seperti halnya
diriku. Ia paham maksud tolehanku dan dengan lirih berkata, “Ya, begini ini
yang terjadi hampir tiap malam.” Atas kesadaran dan jawaban yang kuterima ini,
aku beranjak menjauh pelan-pelan dari ruang itu. Bukan untuk pergi tapi kembali
mengamati dengan tanpa rasa apapun. Dan kulihat sekumpulan manusia bergerombol
itu tetap saling bicara dan senang.
Subjek seni itu
terus melayang-layang di kepala mereka, terlontar dari mulut mereka, berubah
jadi eksistensi, berubah jadi prestasi, berubah jadi keyakinan, berubah jadi
dogma. Ia berubah jadi apapun, tapi tidak atau masih menunggu waktu lama lagi
untuk berubah jadi kenyataan.
Eko Ompong, Makassar, 5 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar