Di sebuah foodcourt
yang menyajikan live music, seorang
lelaki berambut ala militer maju, mengambil mik dan meminta lagu. Dengan pasti
dan yakin, ia lalu mengambil posisi menyanyi sambil duduk. Tanpa tunggu waktu
lama, irama pop era 80-an mengalun syahdu membiru. Syairnya semacam cengeng nan realis, sederhana, sering
terjadi sehari-hari tapi mengena.
Pada bait lagu
pertama, lelaki berambut ala tentara itu nampak agak canggung karena mungkin
masih menyelaraskan dengan irama musiknya. Namun berikutnya ia mulai menemukan
diri dan bait-bait lagu ia dendangkan penuh penjiwaan. Teman-temannya yang
duduk di salah satu sudut memberi tepuk dukungan.
Lelaki itu terus
menyanyi dengan segenap kalbu dalam penghayatan tiada terperi. Sepertinya, lagu
itu mengingatkannya akan memori hidup yang pernah ia alami atau ia dengar atau
ia baca atau ia rasakan. Mungkin karena itu pula lah ia benar-benar nampak
mampu menghidupkan syair-syairnya. Penjiwaan ekspresif yang natural itu
menampakkan kemilaunya. Ia benar-benar menyatu dengan lagu itu. Kena sekali
pokoknya.
Menjelang refrain, ia nampaknya merasa bahwa lagu
itu bener-bener dia banget. Ia lantas
merasa bahwa memang pantas dan elok sekali membawakannya. Ia kagumi dirinya
sendiri dan itu nampak sekali dari binar matanya. Pada saat refrain, memori yang menjadi dasar penghayatan
itu berubah menjadi imajinasi sehingga membawanya seolah-olah ia sedang
menyanyi di atas pangung pertunjukan dengan penonton pemuja yang jumlahnya
ribuan. Atas imajinasi itu pula, gayanya mulai nampak sedikit berlebihan, namun masih bisa diterima.
Kepercayaan dirinya menghujam jantung dan melupakan degubnya. Ia benar-benar
ingin memperlihatkan siapa dirinya dalam lagu syahdu nan membiru itu.
Sementara, foodcourt tetap menggeliat seperti
biasanya. Orang-orang berlalu lalang. Duduk sambil ngobrol dan makan. Mereka
seolah tidak merasa bahwa lagu yang mengalun terdengar itu ada penyanyi
nyatanya. Mereka tak peduli ada atau tidak penyanyinya. Bahkan teman-teman
lelaki berambut ala militer yang tadinya sempat memberi tepuk dukungan pun
tenggelam dalam nafas foodcourt.
Mereka mulai mengobrol, tertawa-tawa, dan abai.
Meski demikian,
lelaki berambut ala militer itu tetap dengan imajinasinya, tetap dengan
semangat “look at me!” yang
menggelora. Andai memang benar-benar itu terjadi di panggung nyata, pastilah
lelaki berambut ala militer itu jadi penyanyi idola. Tapi karena hanya terjadi
di foodcourt saja, maka ekspresi
penuh gelora itu menjadi semacam onani jiwa. Semoga saja ia puas dengan itu
semua.
Dan, nampaknya
memang iya. Sebab ia minta tambah satu lagu lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar