Kamis, 01 September 2016

Lagu, Memori, dan Imajinasi



Di sebuah foodcourt yang menyajikan live music, seorang lelaki berambut ala militer maju, mengambil mik dan meminta lagu. Dengan pasti dan yakin, ia lalu mengambil posisi menyanyi sambil duduk. Tanpa tunggu waktu lama, irama pop era 80-an mengalun syahdu membiru. Syairnya semacam cengeng nan realis, sederhana, sering terjadi sehari-hari tapi mengena.

Pada bait lagu pertama, lelaki berambut ala tentara itu nampak agak canggung karena mungkin masih menyelaraskan dengan irama musiknya. Namun berikutnya ia mulai menemukan diri dan bait-bait lagu ia dendangkan penuh penjiwaan. Teman-temannya yang duduk di salah satu sudut memberi tepuk dukungan.

Lelaki itu terus menyanyi dengan segenap kalbu dalam penghayatan tiada terperi. Sepertinya, lagu itu mengingatkannya akan memori hidup yang pernah ia alami atau ia dengar atau ia baca atau ia rasakan. Mungkin karena itu pula lah ia benar-benar nampak mampu menghidupkan syair-syairnya. Penjiwaan ekspresif yang natural itu menampakkan kemilaunya. Ia benar-benar menyatu dengan lagu itu. Kena sekali pokoknya.

Menjelang refrain, ia nampaknya merasa bahwa lagu itu bener-bener dia banget. Ia lantas merasa bahwa memang pantas dan elok sekali membawakannya. Ia kagumi dirinya sendiri dan itu nampak sekali dari binar matanya. Pada saat refrain, memori yang menjadi dasar penghayatan itu berubah menjadi imajinasi sehingga membawanya seolah-olah ia sedang menyanyi di atas pangung pertunjukan dengan penonton pemuja yang jumlahnya ribuan. Atas imajinasi itu pula, gayanya mulai nampak sedikit   berlebihan, namun masih bisa diterima. Kepercayaan dirinya menghujam jantung dan melupakan degubnya. Ia benar-benar ingin memperlihatkan siapa dirinya dalam lagu syahdu nan membiru itu.

Sementara, foodcourt tetap menggeliat seperti biasanya. Orang-orang berlalu lalang. Duduk sambil ngobrol dan makan. Mereka seolah tidak merasa bahwa lagu yang mengalun terdengar itu ada penyanyi nyatanya. Mereka tak peduli ada atau tidak penyanyinya. Bahkan teman-teman lelaki berambut ala militer yang tadinya sempat memberi tepuk dukungan pun tenggelam dalam nafas foodcourt. Mereka mulai mengobrol, tertawa-tawa, dan abai.

Meski demikian, lelaki berambut ala militer itu tetap dengan imajinasinya, tetap dengan semangat “look at me!” yang menggelora. Andai memang benar-benar itu terjadi di panggung nyata, pastilah lelaki berambut ala militer itu jadi penyanyi idola. Tapi karena hanya terjadi di foodcourt saja, maka ekspresi penuh gelora itu menjadi semacam onani jiwa. Semoga saja ia puas dengan itu semua.

Dan, nampaknya memang iya. Sebab ia minta tambah satu lagu lagi.
 

Eko Ompong, Riau, 14 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar