Kejadian mengejutkan – untuk tidak menyebutnya memuakkan
– sering bermunculan dalam arena kerja sekumpulan akademisi dari beragam
instansi yang membahas satu persoalan praktis yang harus diselesaikan dengan
landasan konsepsi teoretis. Seperti dalam kisah drama, di mana permulaan selalu
merupakan perkenalan tokoh cerita. Orang-orang itu juga sama; dengan sudut
pandang yang besahaja dan bahasa ungkap lembut mendayu, mereka menampilkan
gagasan-gagasan. Bahkan dengan didahului permintaan maaf, gagasan itu
terlontar. Lalu yang lain juga berlaku hampir sama. Seterusnya permintaan maaf
pun juga terlontar sebagai bentuk sopan-santun akademis untuk menolak gagasan
orang lain dan mengedepankan gagasannya sendiri.
Pada mulanya yang
ditolak juga merasa agak menerima. Namun ia tetap memberikan alibi sehingga
intinya ia bergeming pada pendiriannya. Dan kali ini kata maaf itu mulai
terlontar belakangan. Atas alibi baru yang muncul ini, ragam debatan mencuat
dengan dilandasi berbagai macam latar belakang teoretis yang sekiranya dianggap
mendukung debatan itu dan melemahkan alibi barusan. Kata maaf masih juga
terlontar, namun digunakan secara satir untuk melemahkan yang lain dan
meninggikan diri.
Demi melihat hal ini, si pemilik alibi tak mau kalah.
Dengan segala kegagahan akedemis, ia lontarkan pula landasan-landasan teoretis
pendukung gagasannya. Ia balas pula permintaan maaf yang satir tersebut secara
lebih sinis. Terus menerus berbalas seperti itu sampai akhirnya kata maaf mulai
hilang digantikan dengan berbagai macam alasan dan landasan teoretis baik
yang textbook
ataupun yang sebatas kira-kira saja. Intinya, gagasan yang ia lontarkan harus
diterima oleh umum apapun caranya.
Pada taraf ini,
sekumpulan akademisi tersebut tiba-tiba menjadi kubu-kubu dengan bendera
masing-masing instansi. Dan atas nama pribadi berbalut bendera instansi itulah
kemudian perdebatan terjadi dengan pesan utama bahwa gagasan merekalah yang
paling benar. Sudah bukan lagi satu persoalan praktis di awal pertemuan yang
harus diselesaikan. Arena kerja kemudian berubah menjadi ajang unjuk diri,
unjuk gengsi, dan sok-sokan yang
menggelora. Semua bukan demi solusi atas persoalan utama, melainkan demi
tesis-tesis gagah sebagai penanda harga diri semu seorang akademisi.
Akhirnya tesis bertemu antitesis, gengsi bertemu gengsi tanpa pernah ada
sintesis solutif. Pada akhirnya, semua terhenyak diam karena
waktu yang tersedia telah habis, sementara kerja sesungguhnya belumlah
dimulai.
Wit gedhang woh pakel, omong gampang nglakoni angel (memang mudah kalau
hanya bicara, tetapi sulit untuk melakukannya).
Eko Ompong, Bandung, 20 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar