Kamis, 01 September 2016

Omong dan Gengsi dan Tak Kerja



Kejadian mengejutkan – untuk tidak menyebutnya memuakkan – sering bermunculan dalam arena kerja sekumpulan akademisi dari beragam instansi yang membahas satu persoalan praktis yang harus diselesaikan dengan landasan konsepsi teoretis. Seperti dalam kisah drama, di mana permulaan selalu merupakan perkenalan tokoh cerita. Orang-orang itu juga sama; dengan sudut pandang yang besahaja dan bahasa ungkap lembut mendayu, mereka menampilkan gagasan-gagasan. Bahkan dengan didahului permintaan maaf, gagasan itu terlontar. Lalu yang lain juga berlaku hampir sama. Seterusnya permintaan maaf pun juga terlontar sebagai bentuk sopan-santun akademis untuk menolak gagasan orang lain dan mengedepankan gagasannya sendiri.

Pada mulanya yang ditolak juga merasa agak menerima. Namun ia tetap memberikan alibi sehingga intinya ia bergeming pada pendiriannya. Dan kali ini kata maaf itu mulai terlontar belakangan. Atas alibi baru yang muncul ini, ragam debatan mencuat dengan dilandasi berbagai macam latar belakang teoretis yang sekiranya dianggap mendukung debatan itu dan melemahkan alibi barusan. Kata maaf masih juga terlontar, namun digunakan secara satir untuk melemahkan yang lain dan meninggikan diri.

Demi melihat hal ini, si pemilik alibi tak mau kalah. Dengan segala kegagahan akedemis, ia lontarkan pula landasan-landasan teoretis pendukung gagasannya. Ia balas pula permintaan maaf yang satir tersebut secara lebih sinis. Terus menerus berbalas seperti itu sampai akhirnya kata maaf mulai hilang digantikan dengan berbagai macam alasan dan landasan teoretis baik yang  textbook  ataupun yang sebatas kira-kira saja. Intinya, gagasan yang ia lontarkan harus diterima oleh umum apapun caranya.

Pada taraf ini, sekumpulan akademisi tersebut tiba-tiba menjadi kubu-kubu dengan bendera masing-masing instansi. Dan atas nama pribadi berbalut bendera instansi itulah kemudian perdebatan terjadi dengan pesan utama bahwa gagasan merekalah yang paling benar. Sudah bukan lagi satu persoalan praktis di awal pertemuan yang harus diselesaikan. Arena kerja kemudian berubah menjadi ajang unjuk diri, unjuk gengsi, dan sok-sokan yang menggelora. Semua bukan demi solusi atas persoalan utama, melainkan demi tesis-tesis gagah sebagai penanda   harga diri semu seorang akademisi. Akhirnya tesis bertemu antitesis, gengsi bertemu gengsi tanpa pernah ada sintesis solutif. Pada akhirnya, semua terhenyak diam karena waktu yang tersedia telah habis, sementara kerja sesungguhnya belumlah dimulai. 

Wit gedhang woh pakel, omong gampang nglakoni angel  (memang mudah kalau hanya bicara, tetapi sulit untuk melakukannya).


Eko Ompong, Bandung, 20 Juli 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar