Kamis, 01 September 2016

Kiri Kanan



Ada hal yang menarik ketika membicara kiri dan kanan. Dalam khasanah budaya Timur, kanan selalu   dianggap sebagai simbol nilai-nilai yang baik, sedangkan kiri sebagai yang jahat. Oleh karena itulah, semenjak usia anak-anak, kita dididik untuk mengutamakan penggunaan anggota tubuh bagian kanan. Memberi sesuatu harus pakai tangan kanan, melangkah ke masjid harus kaki kanan duluan, dan seterusnya. Sekali saja kita melakukan hal-hal tersebut dengan bagian tubuh yang kiri, pasti amarah atau damprat akan mendarat dengan cepat. Lalu, segera saja rasa bersalah itu menjalar ke seluruh tubuh dan mengeram dalam-dalam di pikiran agar besok di kemudian hari hal itu tak lagi diulangi.

Mungkin kelihatannya sepele dan lumrah-lumrah saja. Tapi benarkan demikian? Jika memang kanan itu hanya sebagai simbol nilai-nilai yang baik, maka titik berat sesungguhnya ada pada nilai-nilai baik itu dan bukan pada simbolnya. Misal saja, aktifitas memberi adalah nilai kebaikan, maka titik beratnya ada pada kegiatan memberi dan bukan pada keharusan memberi dengan tangan kanan. 
 
Tangan kanan atau sesuatu yang dilakukan dengan bagian tubuh kanan kemudian menjelma menjadi semacam jebakan bentuk yang justru lama kelamaan melunturkan nilai itu sendiri. Semacam, memberi dengan tangan kanan tapi berwajah dingin tetap dianggap lebih baik daripada memberi dengan tangan kiri dan tersenyum.

Tanpa disadari, tindakan meng-kanan-kan ini mematikan potensi yang kiri, sehingga yang kiri banyak mengalami kemandulan kinetik. Tidak seluwes dan seproduktif yang kanan. Kerepotan ini akan menemukan masalah sejatinya ketika seseorang harus bekerja dengan menggunakan semua bagian tubuh baik yang kanan maupun yang kiri. Bagaimana kinerjanya akan baik jika sejak kecil yang kanan diutamakan sementara yang kiri dimandulkan? Alangkah lebih bijak jika dikembalikan pada nilai sesungguhnya saja.

Jadi, memberi itu adalah tindakan yang baik bahkan ketika itu dilakukan dengan menggunakan tangan kiri. Sementara itu, mencopet adalah tindakan jahat, bahkan ketika itu dilakukan dengan tangan kanan. Nilai bisa berwujud dalam bentuk apa saja dan seyogianya bentuk tidak memperkosa nilai dan menjajah pikiran.


Eko Ompong, Gubeng, Surabaya, 8 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar