Seseorang yang telah banyak makan asam-garam dan karena
satu dan lain hal dianggap punya "nama" dalam bidang yang
digelutinya, biasanya selalu merenda hidup dengan cerita-cerita masa lalu yang
menakjubkan. Di sembarang tempat, waktu, dan kumpulan orang, cerita-cerita itu
bertebaran di udara, mampir di telinga-telinga yang terkadang kagum, terkejut
atau terpaksa. Semakin banyak kesempatan dan orang, semakin riuh dan renyah
pula cerita itu meluncur dari mulutnya. Padahal logika sederhana dan umum
memberi pencerahan bahwa orang yang sering bercerita kejayaan masa lalu itu,
masa kininya lebih banyak diam atau tidak beraktivitas lagi seperti apa yang
selalu ia ceritakan.
Herannya, jika
ditanyakan kepadanya tentang apa yang akan dilakukannya saat ini, dengan segala
kegagahan – yang juga masa lalu – ia akan menjelaskan panjang lebar
rencana-rencananya. Bukannya bicara bijaksana bahwa ia tak lagi beraktivitas
seperti dulu, namun justru merasa tertantang dan seperti terhina sehingga
gagasan-gagasan yang sekiranya hebat ia kemukakan. Ia akan menceritakan
bagaimana nanti ia berbuat, bagaimana nanti ia berlaku, dan bagaimana nanti ia
beraksi. Semuanya serba "nanti". Namun hal itu dikisahkan seperti
pernah terjadi persis seperti ketika ia menceritakan masa lalunya.
Jadi, bagi yang
mendengar adalah "nanti", namun bagi yang bercerita adalah
"lalu".
Hal ini selalu saja
terulang dalam setiap kesempatan dan pertanyaan yang sama. Dengan tanpa ada
cuatan kesadaran diri, gagasan-gagasan yang diceritakan seperti seolah telah
terjadi dalam kenyataan itu menjadi logika baku. Logika yang memenjara si
pencerita yang tak akan pernah sadar bahwa kenyataan yang ia paparkan itu
sebenarnya masih berupa gagasan dan bahkan sampai waktunya habis pun tak akan
pernah terwujudkan dalam kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar