Sebuah baliho dari
salah satu perguruan tinggi berdiri dengan gagah di sudut kota. Yang tertera
adalah rasa syukur tak terhingga karena mendapat nilai kualifikasi A
(tertinggi) dari sebuah badan akreditasi. Hal ini sebetulnya sangat wajar dan
biasa saja kalau dilihat sepintas lalu. Semua orang pasti senang ketika
mendapat nilai tertinggi dan untuk itu berucap syukur dan sekaligus merasa
bangga. Namun jika kita membincang pendidikan yang merupakan tempat
penggemblengan generasi hebat yang dipastikan akan meneruskan tongkat estafet
keberlangsungan hidup sebuah Negara, baliho itu benar-benar mengherankan.
Bukankah sudah menjadi keniscayaan jika semua lembaga
pendidikan itu memiliki nilai tertinggi, dalam artian kualitasnya baik. Lha
kalau lembaga itu didirikan dan masih harus berjuang bertahun-tahun untuk
mendapat kualitas baik, lalu bagaimana dengan kualitas peserta didik yang
dihasilkan selama ini? Lebih memusingkan lagi ketika lembaga itu mendapat
persetujuan untuk beroperasi menyelenggarakan pendidikan sementara kualitasnya
belum baik atau masih dalam taraf berjuang untuk mendapatkan kualitas baik.
Padahal berkualitas baik ataupun belum secara akreditasi, pendidikan tinggi itu
berbiaya mahal.
Ini benar-benar membuat kepala terjungkir. Akan lebih
elok, bijaksana, dan mulia sekiranya ijin operasional penyelenggaraan
pendidikan itu dikeluarkan hanya jika lembaga itu berkualitas baik sesuai yang
dipersyaratkan, tidak ada kata
lain, sehingga persemaian benih generasi yang diproyeksikan untuk meneruskan
sejarah kehidupan bangsa itu benar-benar berjalan dengan baik. Terlebih, banyak
orang cendekia yang berkata bahwa pendidikan adalah investasi masa depan, maka
tidak boleh main-main. Berlaku main-main dengan pendidikan berarti
mempermainkan masa depan. Dan kita telah menggali lubang kubur dengan
menyerahkan nasib anak-anak kita, bahkan sejak sebelum mereka dilahirkan, pada
orang-orang yang kita didik dengan cara main-main di hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar