Kamis, 01 September 2016

Di Balik yang Nyata



Yang nyata selalu nampak seolah memberikan informasi yang sesungguhnya. "Begitulah yang saya lihat, dan saya yakin dengan mata saya dan itu nyata adanya!" Lalu apakah yang nyata dan dilihat senyatanya itu adalah yang sesungguhnya? Bisakah mata tembus pandang hingga masuk ke relung kalbu si pelaku peristiwa yang nyata tertangkap oleh matanya? Bisakah mata memberikan rasio atas tindakan? Tentu saja tidak. Dan itu pasti.

Permasalahannya dalam soal remeh-temeh yang sering berakibat fatal, apa yang dilihat oleh mata sebagian besar orang – entah karena etika atau falsafah – dianggap kenyataan yang sesungguhnya. Orang yang berpenampilan rapi, bicara sopan santun, dan berlaku penuh tata krama adalah orang yang sepenuhnya baik penuh pujian. Begitu pula sebaliknya terhadap orang yang dianggap tak berpenampilan rapi, tak sopan, dan tak tahu krama dan tata. Ia pastilah dikata sejenis begajulan. Orang yang tak penting dan tak masuk dalam kategori nilai.


Padahal sejak lama telah umum diketahui bahwa mata yang dapat menangkap keindahan gambaran dari karya hebat Tuhan itu sering berbanding terbalik dalam soal penilaian, apalagi jika itu tak mendalam. Bayangan yang ditangkap mata adalah bayangan, gambar adalah gambar. Ia bukanlah pikiran yang punya kuasa analitik dan evaluatif. Yang menjadi soal rumitnya adalah bayangan atau gambar yang tertangkap mata itu seringkali mempengaruhi pikiran. Ia merasuk tanpa permisi untuk mengambil wewenang dari sifat-sifat pikiran yang sebenarnya penuh referensi dan tindak hati-hati.

Secara semena-mena ia menilai begitu saja bahwa apa yang baik dilihat adalah apa yang baik secara keseluruhan, termasuk hal-hal yang tak terlihat. Apa yang menurutnya nampak secara nyata adalah nyata secara menyeluruh, tanpa gugatan. Eloknya lagi, proses ini berjalan begitu cepat sehingga meluluhkan kemampuan pikiran dan membelokkannya ke dalam kharisma sementara yang mengarah pada ketidaksadaran. Dan pada akhirnya, sang pikiran pun bersepakat dengannya.
 
Kemudian setelah apa yang dilihat itu menampakkan kualitas sesungguhnya, barulah pikiran terbangun dari mati surinya. Pelan-pelan ia sadar bahwa apa yang sebenarnya itu terkadang berada di balik yang nyata. Sialnya, logika umum dan sederhana ini baru muncul setelah akibat dan oleh karenanya terlambat.


Eko Ompong, Cengkareng, 15 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar