Yang nyata selalu nampak seolah memberikan informasi yang
sesungguhnya. "Begitulah yang saya lihat, dan saya yakin dengan mata saya
dan itu nyata adanya!" Lalu apakah yang nyata dan dilihat senyatanya itu
adalah yang sesungguhnya? Bisakah mata tembus pandang hingga masuk ke relung
kalbu si pelaku peristiwa yang nyata tertangkap oleh matanya? Bisakah mata
memberikan rasio atas tindakan? Tentu saja tidak. Dan itu pasti.
Permasalahannya
dalam soal remeh-temeh yang sering berakibat fatal, apa yang dilihat oleh mata
sebagian besar orang – entah karena etika atau falsafah – dianggap kenyataan
yang sesungguhnya. Orang yang berpenampilan rapi, bicara sopan santun, dan
berlaku penuh tata krama adalah orang yang sepenuhnya baik penuh pujian. Begitu
pula sebaliknya terhadap orang yang dianggap tak berpenampilan rapi, tak sopan,
dan tak tahu krama dan tata. Ia pastilah dikata sejenis begajulan. Orang yang tak penting dan tak masuk dalam kategori
nilai.
Padahal sejak
lama telah umum diketahui bahwa mata yang dapat menangkap keindahan gambaran
dari karya hebat Tuhan itu sering berbanding terbalik dalam soal penilaian,
apalagi jika itu tak mendalam. Bayangan yang ditangkap mata adalah bayangan,
gambar adalah gambar. Ia bukanlah pikiran yang punya kuasa analitik dan
evaluatif. Yang menjadi soal rumitnya adalah bayangan atau gambar yang
tertangkap mata itu seringkali mempengaruhi pikiran. Ia merasuk tanpa permisi
untuk mengambil wewenang dari sifat-sifat pikiran yang sebenarnya penuh
referensi dan tindak hati-hati.
Secara
semena-mena ia menilai begitu saja bahwa apa yang baik dilihat adalah apa yang
baik secara keseluruhan, termasuk hal-hal yang tak terlihat. Apa yang
menurutnya nampak secara nyata adalah nyata secara menyeluruh, tanpa gugatan.
Eloknya lagi, proses ini berjalan begitu cepat sehingga meluluhkan kemampuan
pikiran dan membelokkannya ke dalam kharisma sementara yang mengarah pada
ketidaksadaran. Dan pada akhirnya, sang pikiran pun bersepakat dengannya.
Kemudian setelah
apa yang dilihat itu menampakkan kualitas sesungguhnya, barulah pikiran
terbangun dari mati surinya. Pelan-pelan ia sadar bahwa apa yang sebenarnya itu
terkadang berada di balik yang nyata. Sialnya, logika umum dan sederhana ini
baru muncul setelah akibat dan oleh karenanya terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar