Pembahasan mengenai
ideologi sering membuncah penuh gairah di ruang-ruang akademik. Sejarah lahir,
filosofi, dan tujuan mulia sebuah ideologi politik tumpah ruah dalam
kalimat-kalimat cerdas. Perdebatan yang terjadi mengenai sisi baik dan buruk
satu ideologi dibungkus aneka teori yang rumit, njlimet, dan meyakinkan. Semuanya tampil penuh yakin sehingga sulit
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dari sebuah ideologi. Semuanya
menjadi dasar bangunan nalar pembentuk ideologi yang harus terterima seperti
itu adanya, sahih.
Lebih seru dan penuh
sitegang ketika satu ideologi dipertentangkan dengan ideologi yang lain.
Semuanya dengan penuh intelektualitas akan melingkupi dirinya dalam balutan
falsafaf yang canggih. Rumus-rumus cendekia saling meluncur deras, saling
menyerang, saling melemahkan, namun tetap dalam semangat keberadilan akademik
yang memungkinkan pertentangan ideologi berdiri berdampingan dalam satu forum.
Segala perselisihan adalah beda pendapat yang saling mencerdaskan.
Hanya saja, jauh di luar
ruang-ruang akademik, pertentangan ideologi adalah hidup mati. Ideologi adalah
dunia tunggal yang tak mengharap pendampingan ideologi lain. Tidak ada dua
aktor dalam satu panggung. Perjuangan ideologis memerlukan kucuran darah,
keringat, dan air mata. Segala cara mesti ditempuh untuk mendapatkannya. Ketika
pada akhirnya perjuangan itu tercapai, mulailah pembersihan dilakukan. Artinya,
ideologi niscaya menjalani ketunggalannya. Tidak ada ruang bagi ideologi lain.
Demi kejayaan yang tunggal ini, yang lain harus disingkirkan bagaimanapun dan
apapun caranya. Bahkan peluang tumbuh atau lahirnya yang lain dinihilkan,
dimatikan dalam arti dasariahnya. Tidak ada kata hidup bagi yang akan, dan
pembunuhan bagi yang masih hidup.
Pembunuhan dalam arti sesungguhnya yang lebih dekat dengan sifat keji
daripada cerdas seperti yang tumpah ruah di ruang akademi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar