Mengapa orang lebih suka mencari "kambing
hitam" ketimbang jujur mengakui kekurangan atau kesalahan? Bisa jadi
karena ia akan merasa terhindar sepenuhnya dari kekurangan atau kesalahan itu
karena telah beralih alamat ke orang lain. Namun, sesederhana itu kah? Pastinya
tidak. Sebab jika memang kekurangan dan kesalahan itu benar-benar beralih ke
orang lain, maka dengan sendirinya tidak ada lagi istilah "kambing
hitam". Istilah itu muncul justru karena perilaku menghindar dari
tanggungjawab pribadi dan mengalihkan segala kesalahan pada orang lain. Itu
diketahui dengan teramat jelas. Jadi, orang yang menjadi "kambing
hitam" itu jelas diketahui umum sebagai orang yang dikorbankan, sedangkan
yang sesungguhnya bertanggungjawab adalah orang yang mengorbankannya. Kalau
sudah demikian, maka tidak perlu lagi ada penunjukan atau pencarian
"kambing hitam", karena yang sebenarnya terjadi telah diketahui.
Namun, si pencari
"kambing hitam" ini ternyata memiliki usaha yang dahsyat untuk memper-tahankan
diri bahwa si "kambing hitam" itu memang yang sebenarnya bersalah.
Banyak dalih ia kemukakan bahkan kalau perlu dengan menyertakan dukungan orang
banyak. Semakin banyak pendukung, maka akan semakin besarlah anggapan bahwa ia
memang benar dan tidak melakukan kesalahan. Dan anehnya, kadang-kadang karena
kedudukan atau posisi atau kelas sosial si "kambing hitam" ini lebih
rendah, maka tidak ada upaya untuk melawan atau berpikir; kalaupun melawan akan
percuma saja. Bahkan banyak dijumpai orang-orang yang rela menjadikan dirinya
"kambing hitam" yang tentu saja dengan segala kesadaran serta
konsekuensi atas imbalan yang bakal didapatkan.
Karena kejadian
yang sering demikian ini, perilaku pencarian "kambing hitam" akan
tetap terus ada – dan si pencari menjadi yakin bahwa kemudian ia akan terbebas
dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karenanya, ia akan lagi-lagi mengulangi hal
tersebut dan selalu merasa muncul sebagai pemenang. Segala sumber yang ia
miliki baik kekuasaan maupun materi adalah senjata maut pencari "kambing
hitam". Dengan pesona penuh rekayasa, ia adalah juru benar karena mampu
menunjuk siapa yang salah. Kalau sudah begini, semua orang hanya akan menggumam
bahwa waktulah nanti yang akan membuktikan siapa yang benar dan siapa yang
salah.
Akan tetapi jika
dicermati dengan sederhana dan teliti, "kambing hitam" itu
sesungguhnya tidaklah "hitam". Ia menjadi "hitam" karena
memang sengaja "dihitamkan",
dan logika ini telah jamak diketahui. Jadi, tanpa perlu menunggu kuasa
waktu, sesungguhnya sejak "kambing hitam" ditetapkan, maka semua
orang telah tahu siapa yang sesungguhnya "hitam".
Kebenaran sejati
memang terkadang tidak harus diverbalkan, sebab di sana lah bersemayam
kedewasaan dan kebijaksanaan yang tidak akan pernah dimiliki oleh si pencari
"kambing hitam".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar