Kamis, 01 September 2016

Kambing Hitam



Mengapa orang lebih suka mencari "kambing hitam" ketimbang jujur mengakui kekurangan atau kesalahan? Bisa jadi karena ia akan merasa terhindar sepenuhnya dari kekurangan atau kesalahan itu karena telah beralih alamat ke orang lain. Namun, sesederhana itu kah? Pastinya tidak. Sebab jika memang kekurangan dan kesalahan itu benar-benar beralih ke orang lain, maka dengan sendirinya tidak ada lagi istilah "kambing hitam". Istilah itu muncul justru karena perilaku menghindar dari tanggungjawab pribadi dan mengalihkan segala kesalahan pada orang lain. Itu diketahui dengan teramat jelas. Jadi, orang yang menjadi "kambing hitam" itu jelas diketahui umum sebagai orang yang dikorbankan, sedangkan yang sesungguhnya bertanggungjawab adalah orang yang mengorbankannya. Kalau sudah demikian, maka tidak perlu lagi ada penunjukan atau pencarian "kambing hitam", karena yang sebenarnya terjadi telah diketahui.

Namun, si pencari "kambing hitam" ini ternyata memiliki usaha yang dahsyat untuk memper-tahankan diri bahwa si "kambing hitam" itu memang yang sebenarnya bersalah. Banyak dalih ia kemukakan bahkan kalau perlu dengan menyertakan dukungan orang banyak. Semakin banyak pendukung, maka akan semakin besarlah anggapan bahwa ia memang benar dan tidak melakukan kesalahan. Dan anehnya, kadang-kadang karena kedudukan atau posisi atau kelas sosial si "kambing hitam" ini lebih rendah, maka tidak ada upaya untuk melawan atau berpikir; kalaupun melawan akan percuma saja. Bahkan banyak dijumpai orang-orang yang rela menjadikan dirinya "kambing hitam" yang tentu saja dengan segala kesadaran serta konsekuensi atas imbalan yang bakal didapatkan.

Karena kejadian yang sering demikian ini, perilaku pencarian "kambing hitam" akan tetap terus ada – dan si pencari menjadi yakin bahwa kemudian ia akan terbebas dari kekurangan dan kesalahan. Oleh karenanya, ia akan lagi-lagi mengulangi hal tersebut dan selalu merasa muncul sebagai pemenang. Segala sumber yang ia miliki baik kekuasaan maupun materi adalah senjata maut pencari "kambing hitam". Dengan pesona penuh rekayasa, ia adalah juru benar karena mampu menunjuk siapa yang salah. Kalau sudah begini, semua orang hanya akan menggumam bahwa waktulah nanti yang akan membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Akan tetapi jika dicermati dengan sederhana dan teliti, "kambing hitam" itu sesungguhnya tidaklah "hitam". Ia menjadi "hitam" karena memang sengaja "dihitamkan",  dan logika ini telah jamak diketahui. Jadi, tanpa perlu menunggu kuasa waktu, sesungguhnya sejak "kambing hitam" ditetapkan, maka semua orang telah tahu siapa yang sesungguhnya "hitam".

Kebenaran sejati memang terkadang tidak harus diverbalkan, sebab di sana lah bersemayam kedewasaan dan kebijaksanaan yang tidak akan pernah dimiliki oleh si pencari "kambing hitam".
 

Eko Ompong, Klidon, Sleman, 17 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar