Sudahlah pasti dipahami secara sederhana, bahwa hidup
adalah kenyataan. Segala hal yang terjadi dalam hidup itu nyata. Sebab jika
tidak, tentu saja masih merupakan gagasan atau imajinasi atau pikiran-pikiran. Untuk
menghilangkan rasa lapar, yang perlu dilakukan adalah makan dan bukan gagasan,
imajinasi atau pikiran tentang makan dan makanan. Hal seperti ini jelas tidak
terbantahkan menurut logika keumuman. Meskipun pikiran dan segala macam yang
belum nyata itu memiliki andil dalam kehidupan – seperti misalnya rencana dan
atau teori – namun pada akhirnya kenyataanlah yang menjadi kuncinya. Tidak ada
gunanya omong berbusa-busa jika tidak bisa dibuktikan secara nyata. Jadi, yang
nyata itu menjadi ukuran yang paling jelas dalam kehidupan ini.
Namun, dalam
praktik kehidupan, anehnya banyak kenyataan yang coba dikesampingkan dan justru
perayaan ketidaknyataan dibangunkan. Sudah sering terdengar ungkapan bahwa,
"Semuanya sudah disiapkan dan direncanakan dengan matang. Hanya saja
pelaksanaannya mengalami kendala." Sementara itu, umum mengetahui bahwa
justru pada ranah pelaksanaan itulah sejatinya kenyataan, bukan pada persiapan
dan perencanaan yang bisa saja direka sepenuh daya agar nampak meyakinkan.
Anehnya lagi, pelaksanaan yang menjadi tulang punggung kenyataan ini
diungkapkan dengan kata "hanya". Seolah-olah tidaklah begitu
berharga. Lebih parah lagi, predikat "hanya" dalam ranah pelaksanaan
ini selalu dimunculkan dalam aktivitas yang menyangkut hajat hidup orang
banyak.
"Jadi semuanya sudah kita siapkan dengan sangat
matang dan teliti, hanya pada saat pelaksanaannya
banyak terkendala faktor geografis" atau "hanya pada saat
pelaksanaannya terjadi problem teknis, dan lain sebagainya". Kalau logika
kalimat yang cenderung ngeles atau
lari dari tanggungjawab ini diteliti, maka kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa persiapan itu sama sekali tidak matang dan tidak teliti. Artinya, semua
yang disampaikan itu hanya pepesan kosong karena dalam kenyataan tidak bisa
dibuktikan. Terlebih lagi, kenyataan yang jelas tak terbukti ini masih diberi
predikat "hanya". Seolah-olah yang nyata itu cuma "hanya"
dan bukan keharusan.
Yang menyedihkan
adalah kalimat ini selalu dimunculkan oleh para yang berwenang pada saat
terjadi penanggulangan bencana atau kekacauan pelaksanaan program yang pada
akhirnya mengorbankan banyak orang. Lebih ngeri lagi, kalimat itu diomongkan
dengan tenang dan cenderung arogan, bahwa seolah-olah memang ia yang berwenang
itu telah bekerja sebagaimana mestinya. Padahal kenyataan berkata sebaliknya.
Namun ia yang berwenang itu tetap kukuh mengamini kenyataan yang ada sebatas, “hanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar