Kamis, 01 September 2016

Hanya



Sudahlah pasti dipahami secara sederhana, bahwa hidup adalah kenyataan. Segala hal yang terjadi dalam hidup itu nyata. Sebab jika tidak, tentu saja masih merupakan gagasan atau imajinasi atau pikiran-pikiran. Untuk menghilangkan rasa lapar, yang perlu dilakukan adalah makan dan bukan gagasan, imajinasi atau pikiran tentang makan dan makanan. Hal seperti ini jelas tidak terbantahkan menurut logika keumuman. Meskipun pikiran dan segala macam yang belum nyata itu memiliki andil dalam kehidupan – seperti misalnya rencana dan atau teori – namun pada akhirnya kenyataanlah yang menjadi kuncinya. Tidak ada gunanya omong berbusa-busa jika tidak bisa dibuktikan secara nyata. Jadi, yang nyata itu menjadi ukuran yang paling jelas dalam kehidupan ini.

Namun, dalam praktik kehidupan, anehnya banyak kenyataan yang coba dikesampingkan dan justru perayaan ketidaknyataan dibangunkan. Sudah sering terdengar ungkapan bahwa, "Semuanya sudah disiapkan dan direncanakan dengan matang. Hanya saja pelaksanaannya mengalami kendala." Sementara itu, umum mengetahui bahwa justru pada ranah pelaksanaan itulah sejatinya kenyataan, bukan pada persiapan dan perencanaan yang bisa saja direka sepenuh daya agar nampak meyakinkan. Anehnya lagi, pelaksanaan yang menjadi tulang punggung kenyataan ini diungkapkan dengan kata "hanya". Seolah-olah tidaklah begitu berharga. Lebih parah lagi, predikat "hanya" dalam ranah pelaksanaan ini selalu dimunculkan dalam aktivitas yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

"Jadi semuanya sudah kita siapkan dengan sangat matang dan teliti,  hanya  pada saat pelaksanaannya banyak terkendala faktor geografis" atau "hanya  pada saat pelaksanaannya terjadi problem teknis, dan lain sebagainya". Kalau logika kalimat yang cenderung ngeles atau lari dari tanggungjawab ini diteliti, maka kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa persiapan itu sama sekali tidak matang dan tidak teliti. Artinya, semua yang disampaikan itu hanya pepesan kosong karena dalam kenyataan tidak bisa dibuktikan. Terlebih lagi, kenyataan yang jelas tak terbukti ini masih diberi predikat "hanya". Seolah-olah yang nyata itu cuma "hanya" dan bukan keharusan.

Yang menyedihkan adalah kalimat ini selalu dimunculkan oleh para yang berwenang pada saat terjadi penanggulangan bencana atau kekacauan pelaksanaan program yang pada akhirnya mengorbankan banyak orang. Lebih ngeri lagi, kalimat itu diomongkan dengan tenang dan cenderung arogan, bahwa seolah-olah memang ia yang berwenang itu telah bekerja sebagaimana mestinya. Padahal kenyataan berkata sebaliknya. Namun ia yang berwenang itu tetap kukuh mengamini kenyataan yang ada sebatas, “hanya”.
 

Eko Ompong, Klidon, Sleman, 15 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar