Pada umumnya, sejak dini manusia diajari untuk menghargai
sesama. Proses ini sering disejajarkan dengan pendewasaan diri. Artinya,
semakin sadar seseorang akan keberadaan sesama untuk dihormati, semakin dewasa
pula ia. Orang yang mau menang sendiri dan acuh pada yang lain, dianggap
kekanak-kanakan. Memang dalam laku hidupnya, manusia dewasa sedikit kurang rasa
mementingkan diri demi memperhatikan keberadaan manusia lain.
Namun dalam
kompleksitas hidup yang melulu kompetitif ini, sikap kedewasaan itu tergerus
keadaan. Pada mulanya mungkin tak dilakukan dengan sadar misalnya menyerobot
antrean, menguasai papan informasi sendirian tanpa hirau dengan orang yang
berada di belakangnya atau berdiri di jalur orang lewat hanya demi melihat
pesan di telepon genggam. Semua mungkin karena waktu dan ketergesaan, sehingga
hal-hal semacam itu terjadi. Masihlah bisa dimaklumi jika demikian.
Rupanya, dalam
arena kompetisi hidup ini, waktu dan ketergesaan itu berubah menjadi kebiasaan
dan maknanya bergeser menuju ketidaksabaran. Semua menjadi tidak sabar untuk
mencapai sesuatu dengan mendahului yang lain. Bahkan untuk hal yang remeh dan
tak berkualitas pun lomba saling mendahului ini terjadi. Anehnya, hal-hal
seperti ini dilakukan dengan penuh kesadaran. Bahkan ketika untuk menjadi yang
pertama itu harus meniadakan yang lain.
Orang rajin
menjilat atasan dan menendang bawahan untuk naik posisi. Orang suka hak previlese yang berarti mengangkangi hak
yang lain. Orang suka menjadi special
member bahkan ketika harus berhutang untuk membayar iuran bulanan atau
tahunan keanggotaannya. Orang rela berdesak dan saling injak demi sembako
gratis. Dan masih banyak lagi hal-hal serupa yang dapat memperpanjang daftar.
Intinya, sudah
tak ada lagi makna penghargaan atas orang lain sebagai dasar nilai kedewasaan
diri dan keutamaan manusia itu. Semua saling berlomba untuk menjadi yang
pertama, semua menjadi kanak-kanak dalam tubuh orang dewasa. Semuanya
benar-benar menyedihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar