Kamis, 01 September 2016

Binatangisme



Manusia bukanlah binatang. Semua manusia normal akan marah jika diumpat sebagai salah satu binatang. Sebagai mahkluk, manusia berada pada kasta tertinggi. Itu semua karena manusia memiliki anugerah pikiran yang dahsyatnya tiada terperi. Segala reka daya terciptakan untuk kemudahan dan keberlangsungan hidup manusia. Alat-alat, sistem sosial dan segenap pranata hidup terlahir atas daya pikir yang tak dimiliki oleh binatang. Manusia dengan demikian tidak sama dengan binatang. Karena itu pula segala perilaku rendah tanpa pikir dan kejam dinamai perilaku binatang. Manusia akan menjadi sangat tidak berharga jika dirinya dibinatangkan. Mungkin lebih baik jika ia dibinasakan daripada dilabeli sebagai binatang.

Tetapi sebagai sesama makhluk, manusia yang istimewa itu tetap memiliki ikatan yang kuat dengan binatang. Bahkan untuk hal tertentu mereka suka menyamakan diri atau sesuatu dengan binatang. Orang yang mampu berlari cepat disamakan dengan cheetah. Orang bertenaga kuat dianggap bertenaga banteng. Untuk hal yang semacam ini label binatang dimaknai positif dan orang yang mendapat predikat tersebut justru bangga.

Namun dalam sudut pandang dan perilaku yang lain, untuk mencapai predikat binatang yang positif ini diperlukan semangat dalam arti negatif, yaitu semangat kebinatangan. Usaha ini bukannya dilakukan tanpa sadar, tapi justru dengan penuh kesadaran, terutama akan tujuan dari tindakan tersebut. Kehebatan dan kekuatan ular kobra dimaknai manusia dalam bentuk kucuran darah segar yang diminum dan empedu yang ditelan dari si ular itu. Keganasan buaya dimaknai dalam bentuk tangkur. Demikian pula yang terjadi dengan gajah, badak, macan, kalajengking dan hewan lain yang pemaknaannya berakibat pada kematiannya. Manusia ingin mendapakan daya positif tertentu dari binatang dengan jalan memburu dan membunuhnya. Sungguh benar-benar binatang.


 Eko Ompong, Done Sao Island, Lao PDR, 5 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar