Manusia bukanlah binatang. Semua manusia normal akan
marah jika diumpat sebagai salah satu binatang. Sebagai mahkluk, manusia berada
pada kasta tertinggi. Itu semua karena manusia memiliki anugerah pikiran yang
dahsyatnya tiada terperi. Segala reka daya terciptakan untuk kemudahan dan keberlangsungan
hidup manusia. Alat-alat, sistem sosial dan segenap pranata hidup terlahir atas
daya pikir yang tak dimiliki oleh binatang. Manusia dengan demikian tidak sama
dengan binatang. Karena itu pula segala perilaku rendah tanpa pikir dan kejam
dinamai perilaku binatang. Manusia akan menjadi sangat tidak berharga jika
dirinya dibinatangkan. Mungkin lebih baik jika ia dibinasakan daripada dilabeli
sebagai binatang.
Tetapi sebagai
sesama makhluk, manusia yang istimewa itu tetap memiliki ikatan yang kuat
dengan binatang. Bahkan untuk hal tertentu mereka suka menyamakan diri atau
sesuatu dengan binatang. Orang yang mampu berlari cepat disamakan dengan
cheetah. Orang bertenaga kuat dianggap bertenaga banteng. Untuk hal yang
semacam ini label binatang dimaknai positif dan orang yang mendapat predikat
tersebut justru bangga.
Namun dalam sudut
pandang dan perilaku yang lain, untuk mencapai predikat binatang yang positif
ini diperlukan semangat dalam arti negatif, yaitu semangat kebinatangan. Usaha
ini bukannya dilakukan tanpa sadar, tapi justru dengan penuh kesadaran,
terutama akan tujuan dari tindakan tersebut. Kehebatan dan kekuatan ular kobra
dimaknai manusia dalam bentuk kucuran darah segar yang diminum dan empedu yang
ditelan dari si ular itu. Keganasan buaya dimaknai dalam bentuk tangkur.
Demikian pula yang terjadi dengan gajah, badak, macan, kalajengking dan hewan
lain yang pemaknaannya berakibat pada kematiannya. Manusia ingin mendapakan
daya positif tertentu dari binatang dengan jalan memburu dan membunuhnya.
Sungguh benar-benar binatang.
Eko Ompong, Done Sao Island, Lao PDR, 5 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar