Pembangunan
dalam istilahnya yang paling umum dipahami adalah pendirian bangungan-bangunan.
Zaman pembangunan dengan demikian adalah era di mana bangunan-bangunan dengan
berbagai macam peruntukkan didirikan. Semuanya nampak fisik semata. Meskipun
sesungguhnya kaidah pembangunan bisa panjang diperdebatkan namun yang ternampak
secara kasat mata inilah yang menjadi ukurannya. Bahkan dalam istilah
pemerintahan, negara, atau kota pun demikian adanya. Kota yang tidak banyak
memiliki bangunan-bangunan seolah menjadi kota masa lalu atau dikatakan
tertinggal. Seolah semua fasilitas yang dibutuhkan manusia yang tinggal di
dalamnya berada dalam bangunan-bangunan itu.
Dua buah
negara bertetangga yang hanya dibatasi jalan raya atau sungai kecil akan
menerima predikat berbeda hanya karena bangunan-bangunan ini. Negara yang
dikatakan lebih maju pasti memiliki banyak bangunan dibanding yang lain. Hitung
jumlah bangunan fisik itu menjadi penentu utama nilai kemajuan sebuah negara.
Dalam perjalanan sekilas jenis penilaian fisik ini akan mempengaruhi sebagian
besar pandangan tentang negara saling berbatasan itu. Padahal, perjalanan
sekilas yang mengumbar mata hanya untuk menelisik jumlah bangunan yang berdiri
sebenarnya sangat tidak memadai untuk menilai kemajuan satu negara.
Tapi kodrat
perjalanan adalah berlaku bagi si pejalan itu sendiri. Artinya nilai apapun
yang diberikan sangatlah subjektif. Hanya saja subjektifitas ini sering
bersifat umum sehingga pada akhirnya para pejalan lain yang hanya melintas juga
sepaham bahwa negara yang satu lebih maju dari yang lain ditinjau hanya dari
jumlah bangunannya. Jadi memang pandangan mata itu seolah menjadi penilai
sejati yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan catatan atau data-data yang
biasanya kurang bisa memberikan gambaran mata fisik secara jelas.
Penilaian
mata fisik ini membawa dampak berbeda ketika pejalan tersebut pada akhirnya
singgah. Dalam kurun waktu persinggahan bisa saja pandangan mata itu benar
adanya, bahwa penampakan fisik akan menggambarkan laku hidup di dalamnya. Namun
yang banyak terjadi adalah sebaliknya.
Penampakan
fisik tidak serta merta memberikan kebenaran gambaran seperti apa kelihatannya.
Negara yang tak memiliki banyak bangunan ternyata memiliki tingkat kecukupan
dalam kehidupan yang lebih memadai. Dan kecukupan kehidupan ini tidak bisa
didapatkan atau terdapatkan dalam bangunan-bangunan. Ia bersemayam dalam
pandangan, falsafah, dan gaya hidup manusianya. Keberterimaan dan kedamaian itu
tidak mungkin mengeram pada diri benda yang digunakan manusia tetapi ada dalam
jiwa manusia itu sendiri.
Nah, dalam
waktu persinggahan ini kemudian muncul jabaran baru mengenai pembangunan itu.
Ternyata, pembangunan itu sesungguhnya berada dalam diri manusia dan tidak
berupa fisik. Ia tak nampak tapi terasa. Ia adalah jiwa. Tidak ada gunanya
tinggal dalam gedung tinggi nan mewah jika jiwa terpenjara. Lebih baik hidup
apa adanya tetapi merdeka jiwa. Pandangan ini benar nyata adanya dan bisa
dirasakan dalam laku hidup ketika pejalan itu pada akhirnya singgah.
Namun, para
pejalan baru yang datang dan pergi melintas tetap memiliki penilaian seperti
sedia kala. Penampakan fisik tetaplah yang utama sehingga cerita perlintasan
perbatasan dua negara bertetangga selalu menjadi sama.
Eko Ompong, Ho Chi Minh City – Phnom Penh, 13 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar