Senin, 05 September 2016

Cerita Perbatasan




Pembangunan dalam istilahnya yang paling umum dipahami adalah pendirian bangungan-bangunan. Zaman pembangunan dengan demikian adalah era di mana bangunan-bangunan dengan berbagai macam peruntukkan didirikan. Semuanya nampak fisik semata. Meskipun sesungguhnya kaidah pembangunan bisa panjang diperdebatkan namun yang ternampak secara kasat mata inilah yang menjadi ukurannya. Bahkan dalam istilah pemerintahan, negara, atau kota pun demikian adanya. Kota yang tidak banyak memiliki bangunan-bangunan seolah menjadi kota masa lalu atau dikatakan tertinggal. Seolah semua fasilitas yang dibutuhkan manusia yang tinggal di dalamnya berada dalam bangunan-bangunan itu.

Dua buah negara bertetangga yang hanya dibatasi jalan raya atau sungai kecil akan menerima predikat berbeda hanya karena bangunan-bangunan ini. Negara yang dikatakan lebih maju pasti memiliki banyak bangunan dibanding yang lain. Hitung jumlah bangunan fisik itu menjadi penentu utama nilai kemajuan sebuah negara. Dalam perjalanan sekilas jenis penilaian fisik ini akan mempengaruhi sebagian besar pandangan tentang negara saling berbatasan itu. Padahal, perjalanan sekilas yang mengumbar mata hanya untuk menelisik jumlah bangunan yang berdiri sebenarnya sangat tidak memadai untuk menilai kemajuan satu negara.

Tapi kodrat perjalanan adalah berlaku bagi si pejalan itu sendiri. Artinya nilai apapun yang diberikan sangatlah subjektif. Hanya saja subjektifitas ini sering bersifat umum sehingga pada akhirnya para pejalan lain yang hanya melintas juga sepaham bahwa negara yang satu lebih maju dari yang lain ditinjau hanya dari jumlah bangunannya. Jadi memang pandangan mata itu seolah menjadi penilai sejati yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan catatan atau data-data yang biasanya kurang bisa memberikan gambaran mata fisik secara jelas.

Penilaian mata fisik ini membawa dampak berbeda ketika pejalan tersebut pada akhirnya singgah. Dalam kurun waktu persinggahan bisa saja pandangan mata itu benar adanya, bahwa penampakan fisik akan menggambarkan laku hidup di dalamnya. Namun yang banyak terjadi adalah sebaliknya.
Penampakan fisik tidak serta merta memberikan kebenaran gambaran seperti apa kelihatannya. Negara yang tak memiliki banyak bangunan ternyata memiliki tingkat kecukupan dalam kehidupan yang lebih memadai. Dan kecukupan kehidupan ini tidak bisa didapatkan atau terdapatkan dalam bangunan-bangunan. Ia bersemayam dalam pandangan, falsafah, dan gaya hidup manusianya. Keberterimaan dan kedamaian itu tidak mungkin mengeram pada diri benda yang digunakan manusia tetapi ada dalam jiwa manusia itu sendiri.
 
Nah, dalam waktu persinggahan ini kemudian muncul jabaran baru mengenai pembangunan itu. Ternyata, pembangunan itu sesungguhnya berada dalam diri manusia dan tidak berupa fisik. Ia tak nampak tapi terasa. Ia adalah jiwa. Tidak ada gunanya tinggal dalam gedung tinggi nan mewah jika jiwa terpenjara. Lebih baik hidup apa adanya tetapi merdeka jiwa. Pandangan ini benar nyata adanya dan bisa dirasakan dalam laku hidup ketika pejalan itu pada akhirnya singgah.

Namun, para pejalan baru yang datang dan pergi melintas tetap memiliki penilaian seperti sedia kala. Penampakan fisik tetaplah yang utama sehingga cerita perlintasan perbatasan dua negara bertetangga selalu menjadi sama.

 Eko Ompong, Ho Chi Minh City – Phnom Penh, 13 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar