Kamis, 01 September 2016

Bakat Seni yang Termatikan



Banyak orang dewasa yang menyatakan dirinya tidak bisa berkarya seni atau tidak memiliki kemampuan seni. Banyak juga yang tidak mau atau tidak bisa menikmati karya seni. Dari yang banyak itu masih diperparah lagi ketika mereka juga bekerja di instansi seni baik pemerintah maupun swasta.

Padahal jika mereka mau merunut masa kanak-kanaknya, tidak ada kata “tidak bisa” dalam kaitannya dengan seni. Coba saja perdengarkan musik pada anak balita, pasti mereka akan menari atau melenggak-lenggokkan badannya mengikuti irama. Diperdengarkan nyanyian, pasti mereka akan ikut menyanyi. Diberi kertas dan pensil mereka pasti akan menggambar. Diberi kesempatan untuk berkumpul dengan teman-temannnya, mereka pasti akan bermain sandiwara dengan berpura-pura menjadi dokter dan pasien atau penjual dan pembeli.

Artinya, bakat berseni itu semestinya ada. Kemauan untuk itu semestinya ada pula. Sebab pada masa kanak-kanak, semua orang pasti mengalaminya. Lalu kenapa kemudian ketika dewasa menjadi tidak bisa? Ketika masih anak-anak, orang tua gembira melihat anaknya menari, menyanyi, bermain sandiwara-sandiwaraan atau menggambar. Namun seiring perkembangan umur si anak dan orientasi atau obsesi orang tua terhadap anaknya, maka semua kegiatan itu menjadi dikerdilkan hingga akhirnya benar-benar hilang. Melihat anaknya – yang sudah bertambah usianya – senang menggambar hingga banyak mengambil waktu, maka si orang tua akan segera melarangnya dengan sigap, tegas dan keras serta mengatakan bahwa waktu belajar harus digunakan untuk belajar bukan untuk menggambar. Demikian pula ketika anak itu bernyanyi-nyanyi. menari-nari, atau bermain sandiwara dengan temannya.

Larangan ini membuat si anak heran, karena ketika menggambar, menyanyi, menari atau bersandiwara itu sesungguhnya mereka belajar atau mempelajari sesuatu. Tetapi oleh orang tuanya itu tidak dianggap sebagai belajar dan karenanya dilarang dan diminta untuk belajar yang lainnya. Mungkin orang tua merasa bahwa hal ini adalah lumrah adanya – karena tuntutan persekolahan misalnya – tetapi tidak bagi si anak yang masih dalam usia sensitif itu. Larangan itu akan melahirkan trauma kecil dan menumbuhkembangkan anggapan bahwa belajar seni itu tidak penting, maka tidak perlu. Karena tidak penting maka tidak perlu dilakukan. Jika hal semacam ini berjalan bertahun-tahun, maka anak yang tadinya bisa menggambar, menyanyi, menari dan bersandiwara ini akhirnya menjadi tidak bisa dan selalu merasa tidak bisa atau tidak mau bisa karena memang tidak penting. Kalau sudah demikian, maka dengan sendirinya bakat seninya termatikan.

Bahkan, ketika pada satu saat di masa dewasa ia ingin mempelajari seni tertentu, keengganan itu pun kembali muncul dengan pemikiran bahwa seni itu tak penting dan tak perlu. Kemudian dengan pasrah ia mengatakan bahwa ia tidak bisa karena memang tidak ada bakatnya. Memang benar, karena bakat itu telah dimatikan oleh orang tuanya di masa kanak-kanak dan seterusnya oleh dirinya sendiri. Dan yang lebih mengharukan lagi itu semua dilakukan dengan tanpa kesadaran dan dianggap sebagai sebuah kewajaran.


Eko Ompong, Riau, 11 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar