Banyak orang dewasa yang menyatakan dirinya tidak bisa
berkarya seni atau tidak memiliki kemampuan seni. Banyak juga yang tidak mau
atau tidak bisa menikmati karya seni. Dari yang banyak itu masih diperparah
lagi ketika mereka juga bekerja di instansi seni baik pemerintah maupun swasta.
Padahal jika
mereka mau merunut masa kanak-kanaknya, tidak ada kata “tidak bisa” dalam
kaitannya dengan seni. Coba saja perdengarkan musik pada anak balita, pasti
mereka akan menari atau melenggak-lenggokkan badannya mengikuti irama.
Diperdengarkan nyanyian, pasti mereka akan ikut menyanyi. Diberi kertas dan
pensil mereka pasti akan menggambar. Diberi kesempatan untuk berkumpul dengan
teman-temannnya, mereka pasti akan bermain sandiwara dengan berpura-pura
menjadi dokter dan pasien atau penjual dan pembeli.
Artinya, bakat
berseni itu semestinya ada. Kemauan untuk itu semestinya ada pula. Sebab pada
masa kanak-kanak, semua orang pasti mengalaminya. Lalu kenapa kemudian ketika
dewasa menjadi tidak bisa? Ketika masih anak-anak, orang tua gembira melihat
anaknya menari, menyanyi, bermain sandiwara-sandiwaraan atau menggambar. Namun
seiring perkembangan umur si anak dan orientasi atau obsesi orang tua terhadap
anaknya, maka semua kegiatan itu menjadi dikerdilkan hingga akhirnya
benar-benar hilang. Melihat anaknya – yang sudah bertambah usianya – senang
menggambar hingga banyak mengambil waktu, maka si orang tua akan segera
melarangnya dengan sigap, tegas dan keras serta mengatakan bahwa waktu belajar
harus digunakan untuk belajar bukan untuk menggambar. Demikian pula ketika anak
itu bernyanyi-nyanyi. menari-nari, atau bermain sandiwara dengan temannya.
Larangan ini
membuat si anak heran, karena ketika menggambar, menyanyi, menari atau
bersandiwara itu sesungguhnya mereka belajar atau mempelajari sesuatu. Tetapi
oleh orang tuanya itu tidak dianggap sebagai belajar dan karenanya dilarang dan
diminta untuk belajar yang lainnya. Mungkin orang tua merasa bahwa hal ini
adalah lumrah adanya – karena tuntutan persekolahan misalnya – tetapi tidak
bagi si anak yang masih dalam usia sensitif itu. Larangan itu akan melahirkan
trauma kecil dan menumbuhkembangkan anggapan bahwa belajar seni itu tidak
penting, maka tidak perlu. Karena tidak penting maka tidak perlu dilakukan.
Jika hal semacam ini berjalan bertahun-tahun, maka anak yang tadinya bisa
menggambar, menyanyi, menari dan bersandiwara ini akhirnya menjadi tidak bisa
dan selalu merasa tidak bisa atau tidak mau bisa karena memang tidak penting.
Kalau sudah demikian, maka dengan sendirinya bakat seninya termatikan.
Bahkan, ketika
pada satu saat di masa dewasa ia ingin mempelajari seni tertentu, keengganan
itu pun kembali muncul dengan pemikiran bahwa seni itu tak penting dan tak
perlu. Kemudian dengan pasrah ia mengatakan bahwa ia tidak bisa karena memang
tidak ada bakatnya. Memang benar, karena bakat itu telah dimatikan oleh orang
tuanya di masa kanak-kanak dan seterusnya oleh dirinya sendiri. Dan yang lebih
mengharukan lagi itu semua dilakukan dengan tanpa kesadaran dan dianggap
sebagai sebuah kewajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar