Sekumpulan manusia yang belajar di dalam ruang kelas
biasanya cenderung sepi. Kata-kata yang terlontar biasanya searah saja dari
pengajarnya seperti ceramah yang tanpa interupsi atau mungkin memang tidak
boleh menginterupsi. Jika hendak bertanya atau mengajukan pertanyaan atau
menyampaikan pendapat, ada waktunya tersendiri, yaitu ketika dipersilakan oleh
pengajarnya. Galibnya, ketika hal itu terjadi, kelas justru semakin lengang
karena tidak ada yang bertanya atau mengemukakan pendapat.
Semakin sepi dan
tegang! Masing-masing saling tatap atau menunduk malu menyembunyikan muka agar
tidak terlihat oleh pengajarnya. Takut kalau dikira hendak bertanya. Atas
situasi ini, pengajar yang baik budi akan menanyakan dengan halus, lembut,
sopan, dan tanpa menyakiti, “Mengapa tidak ada yang bertanya?”
Jawabannya sangat
umum dan klasik, “Nggak tahu apa yang
mau ditanyakan.” atau “Mau tanya tapi takut.” Ini sungguh mengherankan. Yang
pertama bisa diartikan sebagai kurang perhatian sehingga tidak tahu mau
bertanya apa. Ia kurang perhatian bisa jadi karena takut. Yang kedua ada
perhatian sehingga mau bertanya tetapi takut. Kata “takut” ini membudaya di
ruang-ruang kelas dan menjadi roh gentayangan yang selalu hinggap dalam jiwa
setiap peserta. Jadi yang diproduksi di ruang kelas itu hanya rasa takut.
Berbanding
terbalik situasi itu ketika kelas bubar. Semua peserta bersorak sorai gembira.
Mereka kembali menemukan dirinya yang sesungguhnya dan terbebas dari rasa
takut. Mereka tak lagi diam. Kalimat-kalimat renyah serta merta terlontar dan
saling berbalas. Tiba-tiba mereka jadi cerdas karena mampu berkata-kata.
Lho, kenapa tadi
di ruang kelas saling diam? Bukankah ruang kelas itu semestinya memproduksi
keberanian? Ya, seperti ketika mereka keluar dari ruang kelas itu. Jika di luar
ruang mereka mampu menemukan dan mengekspresikan dirinya sendiri, lalu kenapa
di dalam kelas itu semua tidak muncul? Apa mungkin ada yang membelenggu mereka?
Kalau memang ada, kenapa itu bisa terjadi? Untuk apa belajar di ruang kelas
jika kemudian itu hanya membelenggu? Kalau memang ruang kelas itu membelenggu,
lalu kenapa situasi ini selalu dipertahankan? Dan aneh juga ketika yang
dipertahankan ini kemudian menjadi kewajiban. Harus ditempuh, harus dilakoni.
Jadi apapun nantinya, kelas yang diam itu masih tetap bertahan dan sebagian
besar orang menganggukkan kepala sambil berucap, “Amiiiinnnn...”
Eko Ompong, Riau, 10 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar