Kamis, 01 September 2016

Kelas yang Diam



Sekumpulan manusia yang belajar di dalam ruang kelas biasanya cenderung sepi. Kata-kata yang terlontar biasanya searah saja dari pengajarnya seperti ceramah yang tanpa interupsi atau mungkin memang tidak boleh menginterupsi. Jika hendak bertanya atau mengajukan pertanyaan atau menyampaikan pendapat, ada waktunya tersendiri, yaitu ketika dipersilakan oleh pengajarnya. Galibnya, ketika hal itu terjadi, kelas justru semakin lengang karena tidak ada yang bertanya atau mengemukakan pendapat.

Semakin sepi dan tegang! Masing-masing saling tatap atau menunduk malu menyembunyikan muka agar tidak terlihat oleh pengajarnya. Takut kalau dikira hendak bertanya. Atas situasi ini, pengajar yang baik budi akan menanyakan dengan halus, lembut, sopan, dan tanpa menyakiti, “Mengapa tidak ada yang bertanya?”

Jawabannya sangat umum dan klasik, “Nggak tahu apa yang mau ditanyakan.” atau “Mau tanya tapi takut.” Ini sungguh mengherankan. Yang pertama bisa diartikan sebagai kurang perhatian sehingga tidak tahu mau bertanya apa. Ia kurang perhatian bisa jadi karena takut. Yang kedua ada perhatian sehingga mau bertanya tetapi takut. Kata “takut” ini membudaya di ruang-ruang kelas dan menjadi roh gentayangan yang selalu hinggap dalam jiwa setiap peserta. Jadi yang diproduksi di ruang kelas itu hanya rasa takut.

Berbanding terbalik situasi itu ketika kelas bubar. Semua peserta bersorak sorai gembira. Mereka kembali menemukan dirinya yang sesungguhnya dan terbebas dari rasa takut. Mereka tak lagi diam. Kalimat-kalimat renyah serta merta terlontar dan saling berbalas. Tiba-tiba mereka jadi cerdas karena mampu berkata-kata.

Lho, kenapa tadi di ruang kelas saling diam? Bukankah ruang kelas itu semestinya memproduksi keberanian? Ya, seperti ketika mereka keluar dari ruang kelas itu. Jika di luar ruang mereka mampu menemukan dan mengekspresikan dirinya sendiri, lalu kenapa di dalam kelas itu semua tidak muncul? Apa mungkin ada yang membelenggu mereka? Kalau memang ada, kenapa itu bisa terjadi? Untuk apa belajar di ruang kelas jika kemudian itu hanya membelenggu? Kalau memang ruang kelas itu membelenggu, lalu kenapa situasi ini selalu dipertahankan? Dan aneh juga ketika yang dipertahankan ini kemudian menjadi kewajiban. Harus ditempuh, harus dilakoni. Jadi apapun nantinya, kelas yang diam itu masih tetap bertahan dan sebagian besar orang menganggukkan kepala sambil berucap, “Amiiiinnnn...”


Eko Ompong, Riau, 10 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar