Hoax sekarang ini dipahami hanya sebagai
berita bohong semata. Sementara pada penggunaannya yang menghebohkan, yang
dikenal sebagai hoax Sokal atau Sokal
affair[*],
hoax ditujukan untuk menguji
ketelitian para ahli atas sebuah tulisan ilmiah. Si penulis hoax ini juga seorang ahli sehingga karya
tulisnya jika tidak dikaji secara teliti seolah-olah terbaca benar dan dapat dipercaya. Karena
fungsinya untuk menguji, maka ketika karya tulis ilmiah hoax itu berhasil dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, barulah
penulis mengatakan bahwa apa yang ia tulis bukan sesuatu yang benar.
Pengungkapan ini membawa implikasi mendalam
- keras menohok - bagi para pengasuh jurnal ilmiah agar selalu teliti
dalam menyeleksi tulisan yang dikirimkan. Jadi menurut penggunaan dalam
peristiwa ini, hoax lebih bermakna
fungsional. Sumbernya terpercaya, berita atau informasinya seolah-olah bisa
dipercaya dan mengandung kebenaran dengan fungsi untuk menguji ketelitian (memperdaya)
orang atau lembaga yang mempercayai.
Pada
penggunaan seperti ini hoax tampil
garang karena ia menantang orang atau lembaga untuk melakukan telisik mendalam.
Misalnya, di dalam sebuah pubilkasi seorang kepala daerah menginformasikan ke
masyarakat bahwa ia berhasil membawa daerah tersebut unggul dalam hal pendapatan,
pendidikan, dan pemanfaatan sumber daya di banding daerah lain. Namun di sisi
lain ia tidak menginformasikan angka kriminailtas dan korupsi di daerahnya yang
tercatat sebagai tertinggi. Informasi ini tergolong hoax karena disampaikan oleh sumber terpercaya (kepala daerah),
beritanya seolah-olah benar dan bisa dipercaya (sisi keunggulan ditonjolkan
untuk menutup sisi negatif yang dimiliki) dengan fungsi meningkatkan
kepercayaan masyarakat (yang terpedaya atau tak teliti). Data-data yang ditampilkan
tentang pendapatan, pendidikan, dan pemanfaatan sumber daya ini memang faktual
dan sangat akurat sehingga memungkinkan orang untuk takjub dan tidak lagi melihat
sisi lain. Sementara ukuran keunggulan daerah itu mesti dilihat dari semua
sisi. Akhirnya hanya orang-orang ahli pemerintahan yang paham bahwa ada sesuatu
dari informasi tersebut yang sengaja disembunyikan.
Contoh
kasus laporan kepada daerah tersebut membuktikan betapa garangnya hoax. Namun dewasa ini, hoax tak lagi dilihat secara fungsional
melainkan berpusar pada definisi “kebohongan” semata. Akhirnya banyak kabar
yang benar-benar salah yang semestinya tidak bisa dikatagorikan sebagai hoax disebut hoax. Banyak berita atau informasi dari sumber tidak terpercaya
tentang sesuatu yang pada akhirnya diketahui tidak benar dikatakan sebagai hoax. Padahal dari sumbernya saja jelas
tidak terpercaya, maka semestinya katagorinya bukan hoax. Keadaan ini semakin merajalela dalam dunia medsos di mana
siapa atau organisasi apa saja dapat mengirimkan informasi atau data. Orang
tidak lagi melihat kredibilitas sumber data dan si penyampai data. Orang
terjebak hanya pada data atau informasi tersampai. Jika informasi itu tidak
benar namun telah menyebar – jelas akan menyebar karena diunggah ke medsos – disebut
sebagai hoax. Sampai-sampai aparat
menangkap penyebar “hoax” semacam ini dan menyadarkan masyarakat akan bahaya “hoax”
yang belum tentu hoax itu. Pada penggunaan
dan perkembangan pemahaman semacam ini hoax
tak lagi garang. Ia turun kelas menjadi sekedar berita, informasi, atau data
tak benar (bohong) saja.
Sementara
jika ditinjau lebih mendalam, kabar atau informasi yang beredar yang disebut “hoax”
itu bisa saja termasuk ke dalam misinformasi atau disinformasi. Secara lebih
jelas, hoax dapat dimaknai sebagai kepalsuan
yang sengaja dibuat untuk disamarkan sebagai kebenaran. Sedangkan disinformasi
berarti informasi yang sengaja menyesatkan dan misinformasi merupakan informasi
yang memang salah[†].
Hoax dalam pemaknaan ini jelas
membutuhkan kecerdasan karena ia mesti menyamar dengan lihai (membutuhkan keahlian
tertentu) agar dianggap sebagai benar. Ia lebih garang baik dalam proses maupun
dampaknya jika dibandingkan dengan misinformasi atau disinformasi. Namun toh, kegarangan
hoax tetap tidak akan ada artinya di
tengah kehidupan penuh tipu daya semacam dunia maya, karena untuk mencari yang
sungguh-sungguh benar hampir mustahil tertemukan atau bahkan tidak ada. Terlebih
bagi banyak orang sekarang apa yang maya adalah nyata, sementara yang nyata
hampir tidak diinginkan untuk ada. (**)
Rumah,
310320
[*]
Alan Sokal (ahli fisika dan
matematika), mengirimkan tulisan ilmiah yang dimuat oleh Jurnal Ilmiah ilmu
humaniora Social Text pada tahun
1996. Namun tulisan itu kemudian disanggah sendiri oleh Sokal melalui sebuah
artikel untuk memberi peringatan bahwa artikel yang dimuat di Social Text itu sebagai hoax. Ia melakukan itu untuk menguji
apakah publikasi ilmiah (jurnal) akan selalu menerbitkan tulisan sesuai kaidah
ilmiah atau tulisan yang isinya memenuhi/sesuai selera editor (wikipedia.org/wiki/Sokal_affair).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar