Selasa, 01 Januari 2019

Suara dan Buih

"Suara rakyat adalah suara Tuhan" merupakan jiwa demokrasi yang luhur sehingga banyak negara memilihnya sebagai bentuk pemerintahan. Setiap rakyat memiliki suara dan karena suaranya disebandingkan dengan suara Tuhan, maka mau tidak mau harus dipatuhi. Itu kira-kira intinya. Dalam konteks ini, demokrasi menempatkan kekuasaan untuk melayani. Namun semangat politik lain yang menyatakan bahwa hasil akhir dari "politik adalah kekuasaan" seringkali melupakan hal ini, meskipun berada di negara demokrasi. Karena tujuan utamanya hanyalah kekuasaan maka suara rakyat "hanya" dibutuhkan saat penentuan kekuasaan dan setelah itu tindak pelayanan tak lagi perlu diindahkan karena kekuasaan seolah-olah justru ingin dilayani. Carut-marut pemahaman yang membawa nalar melingkar-lingkar namun tak sampai pada inti soal demokrasi ini menjadi buih-buih yang selalu menyertai ombak politik hari ini. Buih-buih ini terkadang memang sengaja diciptakan untuk mengaburkan kewajiban pelayanan. Buih-buih ini diciptakan dengan memperkerjakan atau mempergunakan rakyat yang suaranya adalah suara Tuhan. Dari situlah muncul segala kegaduhan antara tuntutan dan jawaban yang mengaburkan tuntutan. Di situlah muncul antara keharusan dan tekanan serta untung-rugi kekuasaan. Di situlah muncul kemudian berbagai macam strategi agar buih-buih seolah-olah menjadi suara asli. Suara dan buih sengaja diciptakan untuk tak lagi berbeda sehingga demokrasi yang tak berjalan sebagaimana mestinya dapat dinalar sebagai hal yang mesti terjadi sebagaimana mestinya. Rakyat tetap akan dianggap rakyat begitu seterusnya. (**)

Kuala Lumpur, 010119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar