Rabu, 07 Maret 2018

Tong, Ilmu, dan Angka

Tong kosong nyaring bunyinya itu bukan sekedar orang bodoh yang pandai mengoceh. Karena untuk pintar mengoceh diperlukan kemampuan tertentu pula. Ocehan dianggap kosong jika tidak mengandung pesan. Jika ia tak berpesan, maka tak perlu didengarkan. Artinya, tidak ada sebenarnya yang mendengarkan tong kosong itu nyaring berbunyi jika tidak sama-sama kosong. Tong kosong nyaring berbunyi itu lebih mengena kepada orang yang memperjualbelikan ilmu (pengetahuan). Karena sejatinya ilmu itu mestinya dipelajari, dikuasai dan diamalkan. Jika hanya sampai pada tahap penguasaan, maka ia belumlah ilmu. Ini filosofi sederhana Jawa yang menandaskan bahwa ngelmu iku kelakoke kanthi laku. Tanpa laku (amalan) ya jelas bukan ilmu. Sementara pengamalan itu tidaklah untuk diri sendiri. Amalan pasti diperuntukkan bagi orang lain langsung atau secara tidak langsung. Jadinya, rangkaian ilmu itu berujung pada kebermanfaatannya pada orang lain. Jadi tahap penguasaan dalam ilmu itu masih bersifat pengetahuan. Ia singgah di dalam kepala. Ia membutuhkan pengamalan. Akan tetapi dalam kondisi hidup serba angka ini, pengetahuan yang belum sampai pada tahap pengamalan itu telah diangkakan sedemikian rupa. Ia telah dianggap sebagai ilmu meski belum sampai pada tahap pamungkasnya. Dan itulah yang ditukar dengan angka oleh para tong dengan bunyi yang nyaring. Desakan angka sebagai penukar segala dalam kehidupan nyata itu begitu kuat sehingga mengaburkan nilai dari ilmu yang lebih bisa bertahan hidup daripada angka. Namun bagi tong, ia akan lebih mentereng justru ketika nyaring bunyinya. Padahal, meski nyaring ia tetap saja tong. (**)

Klidon, 07-03-18 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar