Ketika ada teman yang berulang tahun kita selalu mengucapkan "selamat ulang tahun" atau dengan model ucapan lain yang intinya menandakan perayaan atas hari, bulan, dan tahun kelahirannya. Tentu saja hitungan hari lahir itu berdasarkan catatan administratif. Artinya, perhitungannya pun akan mengikuti sistem penanggalan yang dipakai lembaga resmi atau negara tempat kelahiran. Satu hal yang umum dimengerti. Namun, ketika orang tersebut sudah mulai memasuki usia sekolah, titipan atau himbauan untuk menjaga atau mempertahankan budaya mulai menggema. Ia secara tidak langsung diminta bertanggung jawab atas keberlangsungan budaya di mana dia hidup. Himbauan ini sering ditegaskan hingga mengiang. Sementara di sisi lain, karena budaya merupakan hasil budi daya manusia, tentu saja sistem penanggalan termasuk bagian penting dari budaya. Di sinilah mulai terjadi soal pelik hitung menghitung angka tahun yang pada akhirnya juga dapat digunakan untuk menentukan umur dan segala aktivitas kehidupan terkait budaya yang digemakan tadi. Umum dimaklumi bahwa catatan penanggalan menggunakan sistem Gregorian dengan hitungan setahun 12 bulan berdasarkan revolusi bumi mengitari matahari atau disebut pula sebagai kalender solar. Sementara ada pula yang menggunakan kalender lunar yang berdasarkan pada perputaran bulan. Secara lebih mendalam lagi, terdapat banyak sistem penanggalan di dunia ini sehinga bisa diketahui perhitungan tahun Masehii, Hijriyah, Saka, Jawa, dan lain sebagainya.
Nah, jika saya sebagai orang Jawa sejak kelahiran sudah ditandai dengan kalender Gregorian, sementara secara budaya, masyarakat Jawa juga memiliki sistem penanggalan tersendiri dan masih berlaku sampai hari ini, apakah pengembanan budaya yang senantiasa dingiangkan ke telinga saya itu menjadi tidak berat? Dalam setiap urusan berbau administratif selalu saja data diri saya mengait pada kalender Gregorian, termasuk soal hitungan hari, bulan, dan tahun untuk setiap kegiatan sehari-hari dalam forum dan agenda resmi. Sementara saya hidup di lingkup budaya Jawa yang memiliki sistem penanggalan sendiri yang disusun berdasar watak dan perilaku hidup manusia dan bukan hanya hitung-hitungan hari, bulan, dan tahun semata. Penanggalan itu dapat dijadikan sumber atau patokan setiap peristiwa penting dalam hidup dan lambang karakter manusia dalam menjalankan hidupnya. Kalau kemudian saya meresapi betul dan mengamalkan sistem penanggalan Jawa, itu berarti saya telah mempertahankan budaya di mana saya lahir dan tumbuh. Sementara ketika mengurus segala sesuatu terkait administrasi untuk keberlangsungan hidup plus agenda-agenda dan forum resmi lain dalam kehidupan, penanggalan yang ditetapkan untuk dipakai adalah Gregorian. Jadi siapa sebenarnya yang telah membuat saya dan atau orang Jawa lain tidak mengemban budaya? Penanggalan itu bukan soal hitungan matematis namun soal budaya di mana kita hidup. Jika sejak kelahiran saja kita sudah tidak ditandai dengan budaya kita lalu untuk apa dan siapa kita disuruh mempertahankan budaya? (**)
Klidon, 12 Oktober 2017
Nah, jika saya sebagai orang Jawa sejak kelahiran sudah ditandai dengan kalender Gregorian, sementara secara budaya, masyarakat Jawa juga memiliki sistem penanggalan tersendiri dan masih berlaku sampai hari ini, apakah pengembanan budaya yang senantiasa dingiangkan ke telinga saya itu menjadi tidak berat? Dalam setiap urusan berbau administratif selalu saja data diri saya mengait pada kalender Gregorian, termasuk soal hitungan hari, bulan, dan tahun untuk setiap kegiatan sehari-hari dalam forum dan agenda resmi. Sementara saya hidup di lingkup budaya Jawa yang memiliki sistem penanggalan sendiri yang disusun berdasar watak dan perilaku hidup manusia dan bukan hanya hitung-hitungan hari, bulan, dan tahun semata. Penanggalan itu dapat dijadikan sumber atau patokan setiap peristiwa penting dalam hidup dan lambang karakter manusia dalam menjalankan hidupnya. Kalau kemudian saya meresapi betul dan mengamalkan sistem penanggalan Jawa, itu berarti saya telah mempertahankan budaya di mana saya lahir dan tumbuh. Sementara ketika mengurus segala sesuatu terkait administrasi untuk keberlangsungan hidup plus agenda-agenda dan forum resmi lain dalam kehidupan, penanggalan yang ditetapkan untuk dipakai adalah Gregorian. Jadi siapa sebenarnya yang telah membuat saya dan atau orang Jawa lain tidak mengemban budaya? Penanggalan itu bukan soal hitungan matematis namun soal budaya di mana kita hidup. Jika sejak kelahiran saja kita sudah tidak ditandai dengan budaya kita lalu untuk apa dan siapa kita disuruh mempertahankan budaya? (**)
Klidon, 12 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar