Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Secara natural anak-anak bermain dengan anak-anak yang lain. Pada saat semacam ini, semua kendala terterabas. Bahasa formal tak lagi menjadi penting karena imajinasi bersama telah terbentuk dengan berbagai macam bahasa yang mereka gunakan. Anak-anak menemukan berbagai macam makna dalam bermain bersama karena bermain adalah belajar dan bersama atau kebersamaan adalah inti dari kehidupan manusia. Namun, dalam hiruk-pikuk hidup manusia dewasa permainan anak-anak adalah hanya permainan. Oleh karenanya, kata ini berubah seketika menjadi benda, bukan lagi kegiatan belajar bersama. Seiring pemahaman picik nan melekat ini, kegiatan bermain anak-anak berubah menjadi kegiatan bermain dengan benda yang disebut dengan mainan. Makna kebersamaan yang semestinya lahir secara alami terpinggirkan. Kehidupan anak-anak kemudian terbiasakan dengan benda yang disebut mainan, dan konsekuensi dari benda adalah kepemilikan yang secara lebih jauh makna kepemilikan adalah penguasaan pribadi atas benda yang disebut mainan tadi. Makna kebersamaan yang semestinya lahir secara alami pada titik ini termatikan. Anehnya, anak-anak hidup dengan mainan adalah pemandangan yang biasa dewasa ini. Bahkan, kepemilikan mainan menjadi keharusan. Interaksi antara manusia dan benda menghiasi hari-hari hidup anak-anak ini. Imajinasinya terbentuk besama benda miliknya dan oleh karenannya ia banyak belajar dari benda mainannya. Hanya ia yang manusia, selebihnya adalah benda. Hanya ia yang kuasa selebihnya adalah benda. Hanya ia yang berhak berlaku apa saja karena selebihnya adalah benda. Bisa dibayangkan jika kemudian ia bertemu dengan temannya yang sesungguhnya adalah manusia dan bukan benda. (*)
Puridomas, 16 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar