Kamis, 01 September 2016

Materi dan Metode



Berputar-putar soal pendidikan, pasti tak jauh dari materi ajar apa yang akan disampaikan atau dialirkan kepada peserta didik. Materi ajar kemudian menjadi idola, sehingga ia tidak pernah tidak akan dikejar para pekerja bidang pendidikan. Semakin banyak materi yang dimiliki, akan semakin bangga pula pemiliknya – dan seolah ia telah selesai dengan perkara pendidikan itu. Akan tetapi, pendidikan – yang menurut orang-orang cendekia adalah proses perubahan – itu pasti membutuhkan teknik penyampaian materi yang biasanya disebut metode. Namun, karena idolanya adalah materi, maka metode menjadi terkesampingkan begitu saja. Sehingga, seberapa pun materi ajar yang akan disampaikan, metode yang digunakan pastilah seputar itu-itu saja.

Di kemudian hari, metode mencuat menjadi selebritis yang diagungkan di kalangan pendidikan. Ini terjadi karena pengagungan materi telah menghasilkan generasi kering yang membebek dan tidak mampu berbicara atas inisiatif sendiri karena telah terbiasa menghafal mantra-mantra yang ada dalam materi ajar itu. Akibatnya, muncul banyak pelatihan mengenai metode, dan semua orang berusaha menjadi bagian darinya. Ahli-ahli metode baru dan dadakan bermunculan di panggung-panggung pelatihan. Semua peserta berdecak kagum dan tepuk riuh atas paparan yang seolah memutar arah pikiran itu.

Namun, alangkah bisunya keramaian itu ketika dalam praktik yang sesungguhnya metode-metode itu menguap begitu saja karena penerapannya menyulitkan. Alhasil, kembalilah ke metode yang itu-itu juga dengan materi yang tidak bertambah pula. Akibat kejadian ironis seperti ini munculah pernyataan yang mengherankan semacam, “Nggak ada gunanya punya seribu metode tapi tidak punya materi, jadi lebih baik punya banyak materi dan sedikit metode.”

Hmm, memang aneh. Pernyataan terakhir – yang menyarankan kembali pada materi itu – jika ditelaah, lahir dari anggapan bahwa rumusan dan macam-macam metode itu adalah materi. Jadi dalam panggung di mana metode adalah selebriti, sesungguhnya juga panggung materi. Karena rumusan dan macam metode yang dipaparkan tidak pernah menggunakan metode seperti yang dirumuskan dan dipaparkan itu. Artinya, hanya sekedar ngomong tentang metode tapi tidak mempraktikkan metode-metode yang diomongkan itu. Jika sudah demikian, maka metode menjadi tidak ada.

Padahal untuk menjadi sebuah rumusan atau paparan, metode itu sendiri pasti pernah dipraktikkan dan diujicobakan. Oleh karena itu, alangkah bijaksananya jika membicarakan metode dengan cara pandang metode. Gampangnya, bisa ngomong juga bisa melakukannya.


Eko Ompong, Raminten Jakal, Sleman, 26 November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar