Berputar-putar soal pendidikan, pasti tak jauh dari
materi ajar apa yang akan disampaikan atau dialirkan kepada peserta didik.
Materi ajar kemudian menjadi idola, sehingga ia tidak pernah tidak akan dikejar
para pekerja bidang pendidikan. Semakin banyak materi yang dimiliki, akan
semakin bangga pula pemiliknya – dan seolah ia telah selesai dengan perkara
pendidikan itu. Akan tetapi, pendidikan – yang menurut orang-orang cendekia
adalah proses perubahan – itu pasti membutuhkan teknik penyampaian materi yang biasanya
disebut metode. Namun, karena idolanya adalah materi, maka metode menjadi
terkesampingkan begitu saja. Sehingga, seberapa pun materi ajar yang akan
disampaikan, metode yang digunakan pastilah seputar itu-itu saja.
Di kemudian hari,
metode mencuat menjadi selebritis yang diagungkan di kalangan pendidikan. Ini
terjadi karena pengagungan materi telah menghasilkan generasi kering yang
membebek dan tidak mampu berbicara atas inisiatif sendiri karena telah terbiasa
menghafal mantra-mantra yang ada dalam materi ajar itu. Akibatnya, muncul
banyak pelatihan mengenai metode, dan semua orang berusaha menjadi bagian
darinya. Ahli-ahli metode baru dan dadakan bermunculan di panggung-panggung
pelatihan. Semua peserta berdecak kagum dan tepuk riuh atas paparan yang seolah
memutar arah pikiran itu.
Namun, alangkah
bisunya keramaian itu ketika dalam praktik yang sesungguhnya metode-metode itu
menguap begitu saja karena penerapannya menyulitkan. Alhasil, kembalilah ke
metode yang itu-itu juga dengan materi yang tidak bertambah pula. Akibat
kejadian ironis seperti ini munculah pernyataan yang mengherankan semacam, “Nggak ada gunanya punya seribu metode
tapi tidak punya materi, jadi lebih baik punya banyak materi dan sedikit
metode.”
Hmm, memang aneh.
Pernyataan terakhir – yang menyarankan kembali pada materi itu – jika ditelaah,
lahir dari anggapan bahwa rumusan dan macam-macam metode itu adalah materi.
Jadi dalam panggung di mana metode adalah selebriti, sesungguhnya juga panggung
materi. Karena rumusan dan macam metode yang dipaparkan tidak pernah
menggunakan metode seperti yang dirumuskan dan dipaparkan itu. Artinya, hanya
sekedar ngomong tentang metode tapi tidak mempraktikkan metode-metode yang
diomongkan itu. Jika sudah demikian, maka metode menjadi tidak ada.
Padahal untuk
menjadi sebuah rumusan atau paparan, metode itu sendiri pasti pernah
dipraktikkan dan diujicobakan. Oleh karena itu, alangkah bijaksananya jika
membicarakan metode dengan cara pandang metode. Gampangnya, bisa ngomong juga
bisa melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar