Sabtu, 06 Desember 2025

Keindahan Keburukan

Di dalam proses belajar mengajar seni, saya selalu menekankan keberanian bertindak dengan tanpa memperdulikan hasil baik atau buruk. Menurut pandangan saya, proses menciptakan karya seni harus dimulai dari tindakan, coba-coba, membentuk, mengasah, membangun, menyusun, dan semua kata kerja lain yang dapat diajukan untuk menghasilkan karya seni. Sementara, pertimbangan apakah itu teori penciptaan atau skala ukuran indah-tak indah meski dikesampingkan terlebih dahulu. Dengan modal semacam ini, karya seni bisa lahir, namun penilaiannya sangat mana-suka, dan itu normal saja. Bahkan secara ekstrim, saya sering menganjurkan untuk membuat karya seni yang buruk. Harus buruk, karena yang utama diperlukan adalah keberanian. Menurut saya, keburukan itu adalah bagian dari proses menuju indah.

Saya pikir ini adalah pandangan ngawur saya yang didasari semangat memacu keberanian seseorang untuk berkarya. Namun ketika saat berjumpa Michael Hauskeller melalui bukunya "Seni Apa Itu? Posisi Estetika dari Platon sampai Danto" (2015) dan mengarahkan pada Karl Rosenkranz, saya terhenyak. Rupanya, Rosenkranz memiliki pandangan unik atas keburukan dalam karya seni. Sepanjang yang saya pahami, ia melihat bahwa karya seni dapat disebut indah ketika tidak menyembunyikan ancaman keburukan di dalamnya, dan ancaman itu ada. Saya bayangkan, cahaya fajar itu indah karena terancam oleh datangnya siang, demikian juga sunset yang terancam oleh datangnya malam, dan ancaman itu ada. Fajar tak akan indah ketika siang menjelang dan sunset tak indah ketika tertelan malam. Bagi fajar, siang adalah keburukan dan bagi sunset, malam adalah keburukan. Namun siang harus hadir demi indahnya fajar dan malam harus hadir demi indahnya cahaya matahari tenggelam.

Apa yang disampaikan secara filosofis oleh Rosenkranz ini jelas tidak sama dengan pandangan saya yang ngawur itu. Namun, di sini saya mendapat dasar pijakan estetika tentang unsur keburukan - yang saya ajarkan sebagai penyemangat keberanian - dalam karya seni yang indah. Di sini saya menjadi lega, karena prinspnya orang yang berani berkarya, meskipun dipandang orang lain sebagai karya yang buruk, tetap lebih berharga daripada orang yang memahami perihal karya seni nan indah namun tak berkarya sama sekali. Berikutnya, proses sintesis seperti yang disajikan oleh Rosenkranz akan bergantung pada pengalaman (bacaan, dengaran, lihatan, lakuan) seseorang dalam mencipta karya seni yang dapat disebut indah. Jadi, tetaplah bersemangat untuk terus berkarya seni bahkan ketika karya itu tak indah. (**)

Sedayu, 061225 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar